Sabtu, 10 Januari 2009

Paradigma Pendampingan Msyarakat Sekitar Hutan

PARADIGMA
PENDAMPINGAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

I. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pembangunan kehutanan dalam arti luas adalah meningkatkan status sosial ekonomi atau taraf hidup masyarakat sekitar hutan yang merupakan kelompok terbersar di antara stakeholder lainnya. Tujuan ini diharapkan dicapai secara sinergis dengan tujuan-tujuan lainnya seperti peningkatan devisa, peningkatan produksi, peningkatan konsumsi, dan pembangunan daerah khususnya da-erah pedesaan. Pembangunan perta nian juga diharapkan mendukung pem-bangunan industri manufaktur terutama sebagai penyedia bahan baku. Karena tujuan yang jamak ini maka pening katan status sosial ekonomi petani sering kali tidak diutamakan.
Pemerintah telah bertekat untuk meningkatkan taraf hidup petani sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45. Bebagai program dan proyek pembangunan dilakukan ke arah pencapaian tujuan ini. Namun demikian apa yang telah dilakukan melalui pembangunan sekor agrokompleks masih harus terus ditingkat kan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pemberdayaan masya rakat tani menuju peningkatan keta-hanan pangan dengan cara menye diakan tenaga pendamping bagi petani dalam seluruh kegiatan produksi agrokompleks. Melalui pendamping-an kepada petani diharapkan bahwa percepatan pencapaian tujuan pemba ngunan dapat terlaksana. Oleh karena itu program pendampingan petani harus dilihat sebagai program prioritas dalam pembangunan sektor agrokompleks.

II. Tuntutan Pembangunan AgrOKOMPLEKS
Dengan dapat diperkirakannya arah pembangunan di masa depan, maka ditentukan juga tuntutan pembangunan sektor-sektor agrokompleks di masa yang akan datang.
Beberapa hal yang dapat dipandang sebagai tuntutan internal adalah:
(1) Agrokompleks harus bisa menjadi sektor unggulan yang nantinya akan menarik dan mendorong sektor pembangunan lainnya;
(2) Agrokompleks harus menyediakan pangan dan bahan industri secara temporal (sepanjang tahun) dan spasial (di setiap pelosok negara);
(3) Agrokompleks akan menghadapi sumber-sumber pembiayaan yang terbatas jumlahnya. Modal akan menjadi faktor pembatas yang cukup berarti. Kompetisi antar sektor akan sangat tinggi yang membuat sehingga hanya sektor yang paling efisien yang akan mendapatkan alokasi sumber dana yang lebih besar.
Secara eksternal, tuntutan terhadap sektor-sektor agrokompleks adalah:
(1) Antisipasi terhadap kesepakan perdagangan internasional baik multilateral maupun bilateral yang harus dipenuhi, misalnya APEC, AFTA, WTO, atau BIMP-EAGA;
(2) Responsif terhadap lalu lintas modal dan produk yang bebas dan semakin besar jumlahnya yang membuat Indonesia bisa menjadi eksportir atau importir utama;
(3) Antisipasi atas kebijakan makroekonomi negara-negara mitra dagang yang dengan sekejap dapat ditransfer akibat atau dampaknya ke Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi; dan
(4) Responsif terhadap kecenderungan back to nature yang berkembang sekarang di banyak negara maju dimana nilai-nilai agrokompleks tradisional dihargai kembali karena ternyata lebih tangguh terhadap perubahan lingkungan, iklim dan cuaca.

III. PERANAN PEMERINTAH
Pembangunan ekonomi nasional di waktu yang lampau boleh dikatakan diwarnai dengan dominasi pemerintah. Pada sektor agrokompleks, dominasi ini dapat dilihat dengan adanya keterlibatan atau intervensi pemerintah dalam sektor produksi dan distribusi. Selain itu juga pemerintah melakukan intervensi pasar dengan kebijakan harga, tarif, pajak, dan subdisi, serta kebijakan non-ekonomi yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi struktur produksi dan distribusi. Intervensi peme-rintah membuat secara teoritis pasar menjadi terdistorsi dari struktur pasar bersaing sempurna yang merupakan struktur yang ideal secara ekonomis. Dengan struktur pasar demikian, memang secara keseluruhan boleh dikatakan bahwa ekonomi berlangsung dalam kondisi sub-optimal. Namun demikian dari sisi lain, kelompok-kelompok yang harus dilindungi pemerintah dan negara, contohnya petani skala kecil, dapat melangsungkan kegiatan produksinya dengan lebih baik.
Dengan berkembangnya ekonomi, semakin baiknya arus informasi, telekomunikasi, dan trasportasi, serta dengan makin berkembangnya kemampuan dan kapasitas bisnis swasta atau masyarakat secara keseluruhan, maka peran pemerintah lebih diarahkan pada kegiatan-kegiatan berikut:
3.1. Perencanaan Makro dan Strategis
Meskipun rakyat telah memiliki kemampuan dalam perencanaan namun itu hanya bisa efisien dan efektif apabila dilaksanakan dalam skala mikro yaitu skala individu, rumah tangga, perusahaan atau korporasi. Perencanaan pembangunan skala makro baik pada tingkat daerah apalagi pada tingkat pusat, supaya berjalan efektif dan efisien, masih tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah berkewajiban untuk merencanakan dengan mempertimbangkan keseimbangan dan kebutuhan spasial regional, sektoral, komoditas, serta temporal.
Selain bersifat makro, perenca naan yang dilakukan pemerintah juga bersifat strategis yang berarti tidak terlalu rinci rancangannya namun memiliki nuansa sinergis yang memungkinkan untuk mencapai berbagai tujuan secara bersama-sama dengan biaya dan sumberdaya yang sekecil atau serendah mungkin. Perencanaan makro dan strategis memberikan peluang kepada masyarakat dan/ atau tingkatan pemerintah yang lebih rendah untuk menterjemahkan lebih jauh rencana makro strategis tadi ke dalam rencana yang taktis dan operasional. Rencana yang bersifat taktis dan operasional dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi objektif setempat, yaitu aspek-aspek sumberdaya manusia, modal, alam serta kelembagaan dan pranata sosial. Sintesis dari berbagai rencana taktis dan operasional akan membentuk wujud dari rencana makro strategis.
3.2. Peranan Pembinaan / Pemberdayaan
Pemerintah masih berkewajiban melakukan pembinaan guna terlak-sananya rencana pembangunan dan tercapainya tujuan serta sasarannya. Meskipun disadari bahwa kemampuan dan kapasitas masyarakat telah berkembang namun tidak berarti bahwa fungsi pembinaan bisa secara total dilepaskan dari pemerintah. Kondisi keragaman dan ketidak-seimbangan yang masih ada pada masyarakat menuntut adanya pembinaan yang dilakukan pemerintah. Pembinaan dilakukan supaya terbentuknya kesamaan dan persamaan persepsi, serta terciptanya pijakan atau panggung yang sama bagi setiap orang dalam memulai dan membangun partisipasinya dalam pembangunan. Pembinaan patut dilakukan supaya perbedaan-perbedaan inheren yang melekat dengan sosial budaya serta karena faktor jarak dan geografis dapat diperkecil sehingga akhirnya setiap orang memiliki ke-sempatan yang sama dalam pembangunan.
Pada kondisi dan untuk tujuan tertentu, swasta dapat melakukan pembinaan. Namun demikian pembinaan yang dilakukan swasta umumnya memiliki target yang spesifik, cenderung berorientasi mencari keuntungan atau memperhatikan biaya yang dikeluarkan dan kemungkinan manfaat yang dapat dipetik, mencari popularitas serta menambah jumlah pendukung (voters) atau pengikut (followers). Pembinaan swastapun umumnya dilakukan di tempat-tempat atau bidang-bidang yang terkait dengan kepentingannya yang akhirnya membuat tidak semua orang dapat memiliki akses terhadapnya. Dengan begitu apabila pemerintah tidak memainkan peranan penuh dalam pembinaan pembangunan, maka hasil pembinaan menjadi barang mahal dan mewah dan sebagai akibatnya partisipasi seluruh masyarakat dalam pembangunan akan sulit diwujudkan.
3.3. Inovasi Teknologi
Pembangunan adalah proses memperoleh nilai tambah yang dibutuhkan masyarakat untuk memperbaiki tingkat atau status hidupnya. Untuk memperoleh nilai tambah maka pembangunan harus dilakukan dengan efisiensi yang tinggi yaitu penggunaan modal atau input tertentu guna menghasilkan output yang sebesar-besarnya. Semakin efisien proses pembangunan itu, semakin besar nilai tambah yang dihasilkan yang berarti semakin besar manfaat pembangunan yang dapat dirasakan masyarakat. Efisiensi pembangunan dapat tercapai melalui penerapan teknologi pada berbagai tingkatan pembangunan dan di seluruh sektor produksi.
Meskipun disadari bahwa teknologi adalah sangat penting dalam mening- katkan hasil-hasil pembangunan, ternyata kesediaan teknologi yang lebih baik masih tetap merupakan masalah nasional. Di berbagai bidang, dan khususnya di sektor agrokompleks, ketersediaan teknologi masih merupakan faktor penentu produksi. Bagi banyak masyarakat petani, teknologi yang lebih baik masih sulit diperoleh. Kalaupun telah ada penguasaan teknologi oleh petani, penerapannya mengalami kesulitan karena teknologi yang baik (misalnya varietas unggul) biasanya mensyaratkan penggunaan faktor input (misalnya pupuk dan air) yang lebih banyak. Akibatnya meskipun sudah diketahui oleh petani, banyak yang hanya sampai pada tahap pengetahuan saja dan tidak dilanjutkan oleh aplikasi.
Karena teknologi menduduki tempat khusus dalam hal meningkatkan nilai tambah dan produktivitas maka penguasaan dan aplikasi teknologi perlu dimiliki oleh masyarakat. Sebab itu pemerintah dapat berperan dalam menghasilkan teknologi yang tepat dan berguna bagi masyarakat. Teknologi yang dimaksud bisa diperoleh melalui kegiatan dan pengembangan oleh lembaga penelitian atau universitas di dalam negeri atau melalui pembelian (impor) teknologi dari luar negeri.
Kegiatan atau proses menghasilkan teknologi pada dasarnya bukan monopoli pemerintah. Kegiatan litbang (atau dalam dunia swasta lebih dikenal dengan Rand-D atau Product Development telah dilaksanakan oleh banyak perusahaan swasta. Malah kalau boleh dikatakan, sebagian besar inovasi teknologi di dunia saat ini lebih banyak dihasilkan oleh swasta dari pada oleh lembaga penelitian publik. Tidak terkecuali untuk produk atau komoditas agrokompleks, banyak diantaranya yang berupa bibit unggul, bahan kimia dan obat-obatan yang ternyata dihasilkan melalui kegiatan lembaga penelitian swasta. Namun tetap peran pemerintah diperlukan dalam inovasi atau pengem-bangan teknologi karena tidak semua masyarakat bisa dengan mudah dan murah memperoleh teknologi yang diinginkan dan berguna bagi mereka. Seperti dalam hal pembinaan yang diuraikan sebelumnya, teknologi yang dihasilkan swasta biasanya melalui kegiatan litbangnya tetap masih terkait dengan keinginan aspek-aspek komersial, kepentingan dan tujuan yang ekslusif.
Masyarakat, khususnya petani dapat mengandalkan teknologi yang di-milikinya. Dewasa ini telah timbul kesadaran bahwa masyarakat sendiri mempunyai kemampuan dalam mengembangkan atau menggunakan teknologi yang telah dimilikinya selama ini, yang mungkin telah ada selama beberapa generasi. Teknologi yang dimaksud sering disebut dengan teknologi asli (indigenous technology) yang keandalannya sudah teruji dengan berkembangnya waktu. Namun demikian tidak semua teknologi asli dapat menghasilkan produk (output) dalam jumlah dan kualitas yang lebih baik yang akhirnya dapat memenuhi tuntutan permintaan pasar. Sebab itu teknologi asli, meskipun sesuai, masih tetap juga dikaji dan dikembangkan supaya dapat digunakan secara luas dan memberikan hasil yang lebih baik. Pengembangan teknologi asli ini adalah tanggung jawab lembaga penelitian publik.
Dengan intervensi atau peran pemerintah melalui institusi penelitian publiknya maka teknologi yang dihasilkan adalah barang publik (public good) yang tersedia bagi masyarakat dengan biaya yang minimal atau sangat murah. Dengan begitu peman faatan teknologi yang dimaksud tidak akan menambah atau meningkatkan biaya produksi, sementara di sisi lain produktivitas akan meningkat. Hasilnya yaitu nilai produksi semakin besar yang seterusnya meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara.
3.4. Informasi dan Penyuluhan Pembangunan
Pemerintah masih memegang peranan dalam memberikan informasi seluas-luasnya dan seakurat mungkin kepada masyarakat. Informasi adalah input yang dapat digunakan masyarakat dalam proses produksi dan peningakatan nilai tambah. Secara tidak langsung, informasi yang akurat (contohnya adalah informasi pasar) dapat berfungsi sebagai daya dorong atau stimulan untuk meningkatkan produksi.
Karena kondisi objektif Indonesia yang terdiri banyak pulau dan masih memiliki banyak kawasan yang sulit dijangkau maka informasi dianggap sebagai komoditas atau barang yang mahal bagi beberapa kalangan. Sama halnya dengan teknologi yang diuraikan sebelumnya, adalah tanggung jawab pemerintah melalui lembaga-lembaga publik untuk melaksanakan penyuluhan pembangunan guna mendesiminasi informasi yang dimiliki pemerintah, baik diciptakan sendiri maupun yang diperoleh dari pihak lain. Peran pemerintah dalam menyediakan informasi harus bersifat proaktif karena apatisme serta terisolasinya sebagian masyarakat. Dengan cara ini maka setiap orang akan memiliki dasar informasi yang sama sebagai modal partisipasinya dalam pembangunan.
3.5. Pengaturan
Di masa sekarang dan yang akan datang, fungsi pemerintah dalam menata kegiatan pembangunan akan semakin besar karena kompleksitas pemba-ngunan serta tuntutan dan permintaan masyarakat. Mekanisme penataan pem-bangunan ditempuh melalui fungsi pemerintah sebagai pengatur atau regulator. Untuk itu pemerintah mengeluarkan peraturan perudang-undangan atau hukum positip, selain konvensi atau sistem hukum informal yang telah berkembang dalam masyarakat dalam bentuk adat dan kebiasaan.
Meskipun spektrum kegiatan masyarakat akan semakin luas yang tentunya membawa kegiatan pengaturan pemerintah semakin kompleks namun itu tidak berarti bahwa pemerintah akan membuat sehingga aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Sekarang dan di masa depan, semangat deregulasi atau meruntuhkan sistem dan mekanisme peraturan yang menghambat pembangunan akan tetap dijalani oleh pemerintah. Pengaturan akan dilakukan sedemikian rupa sehingga hal tersebut meningkatkan efisiensi dan tidak memberikan peluang bagi lahirnya dan berkembangnya praktek-praktek kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Dengan cara demikian maka kegiatan agribisnis atau ekonomi pada umumnya akan menjadi lebih sehat sehingga kapitalisme kroni dan kapitalisme semu dapat diganti dengan kapitalisme pasar yang berdasarkan koridor regulasi yang telah ditetapkan serta mengandalkan efisiensi dan transparansi.
3.6. Pemantauan dan Pengawasan
Sistem pengaturan atau regulasi (regulation system) tidak akan berfungsi secara baik apabila hal tersebut tidak diikuti dengan sistem pemantauan (monitoring system) dan pengadilan (judicial system). Pemantauan dan pengawasan dilakukan supaya regulasi yang telah dibuat dapat ditaati (compliance), sementara pengadilan perlu dilakukan bagi mereka yang telah melanggar (violance) regulasi. Dengan ketiga sistem ini maka regulasi akan lebih efektif.
Pemantauan, pengawasan dan penyidikan adalah fungsi manajemen yang merupakan proses kegiatan pimpinan (dalam hal ini adalah pemerintah) untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan sesuai dengan yang direncanakan. Hakekat pengawasan adalah mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan. Tugas pemantauan dan pengawasan pembangunan adalah merupakan tugas pemerintah. Di masa depan, otoritas dan wewenang penga-wasan masih akan tetap ada pemerintah namun peran masyarakat akan semakin besar sebagai mitra pemerintah. Karena perencanaan dan pelaksanaan pem-bangunan dilakukan juga oleh masyarakat maka adalah wajar bahwa masyarakatpun melakukan pengawasan. Insentif untuk melakukan pengawasan oleh masyarakat semakin besar apabila memang mereka ikut dalam perencenaan.




IV. PENDAMPINGAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Dengan fungsi serta peran pemerintah seperti diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak lagi berperan sebagai pelaku bisnis atau aktor ekonomi dan juga tidak melakukan intervensi harga dan pasar. Dengan kata lain, di masa depan intervensi pemerintah akan bertumpu pada intervensi non-ekonomi dalam bentuk pengaturan (regulasi), pelayanan publik, pembinaan dan pengawasan. Dengan adanya peran seperti ini maka dengan sendirinya kegiatan produksi serta kegiatan ekonomi lainnya berlangsung dengan hanya berdasarkan signyal-signyal pasar dan harga. Itu berarti juga bahwa setiap orang memiliki peluang untuk masuk dalam kegiatan ekonomi sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya.
Menjadi persoalan yaitu apakah petani sebagai stakeholder utama pembangunan agrokompleks dapat masuk ke dalam struktur ekonomi yang dimaksud dengan kekuatan dan kapasitas yang sekarang dimilikinya. Jawaban normatif terhadap persoalan ini yaitu bahwa apabila petani dengan kemampuan dan kapasitasnya dibiarkan masuk ke dalam struktur ekonomi yang bebas bersaing maka barangkali saja mereka tidak akan mampu untuk melakukannya. Petani skala kecil bisa saja tergilas dan akhirnya keluar dari sistem produksi yang membuat mereka mengalami proses marjinalisasi sosial dan ekonomi. Untuk itu meskipun pada dasarnya peluang yang sama diberikan kepada setiap orang, bagi petani skala kecil masih diperlukan perlakuan khusus yang memungkinkan mereka berkembang untuk akhirnya dapat berperan sendiri tanpa perlu campur tangan pemerintah.
4.1. Dasar Pemikiran dan Hakekat Pendampingan
4.1.1. Kegagalan pasar dan nilai-nilai subjektivitas
Alasan utama perlu adanya intervensi pemerintah dalam hal memberikan pembinaan khusus kepada petani baik berupa percepatan transfer informasi, perbaikan teknologi produksi, peningkatan manajemen usaha tani, serta pemberdayaan petani dalam hal pasca panen dan pemasaran adalah kegagalan sistem dan struktur ekonomi (market failure). Kegagalan pasar membuat petani tidak dapat berpartisipasi secara baik dalam struktur dan sistem yang ada. Adanya kegagalan ini membuat juga sehingga pemerintah harus ikut terlibat dalam hal memperkuat dan memberdayakan petani supaya tujuan pembangunan agrokompleks untuk meningkatkan taraf dan status sosial ekonomi petani dapat dicapai. Keterlibatan atau intervensi pemerintah dalam hal memberikan perhatian khusus kepada petani tetap berada dalam konteks menciptakan kondisi pasar yang bersaing secara adil, namun tetap memberikan kesempatan kepada petani sebagai stakeholder utama. Perlakuan khusus yang diberikan kepada petani adalah sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah menjamin bahwa mekanisme pasar yang terbentuk akan bermuara pada penggunaan sumberdaya modal secara efisien yang berdasarkan pada pasar faktor produksi (input) dan produk (output) yang kompetetif. Hal ini berarti bahwa tidak ada halangan atau rintangan untuk pelaku ekonomi agrokompleks ikut aktif dalam kegiatan agribisnis karena mereka semua memiliki informasi yang sem-purna tentang bisnis yang ditekuninya. Dalam hubungan ini, pemerintah perlu mengeluarkan aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan serta stuktur legal yang mendasari terciptanya kondisi pasar yang kompetetif.
Ke dua, bila karena perubahan harga dan biaya, kegiatan ekonomi agrokompleks menjadi tidak efisien maka pemerintah perlu ikut terjun secara langsung dalam kegiatan agrokompleks. Bisnis agrokompleks yang tidak efisien bisa saja disebabkan sifat-sifat agrokompleks itu sendiri yang tidak memberikan insentif bagi swasta untuk masuk ke dalam bisnis itu.
Ke tiga, meskipun struktur legal sudah tersedia dan semua rintangan bisnis telah dihilangkan namun bila bisnis tidak berkembang maka ini menandakan adanya eksternalitas yang bermuara pada kegagalan pasar. kondisi ini membuituhkan campur tangan sektor publik.
Ke empat, nilai-nilai sosial (social values) diperlukan dalam rangka distribusi pendapatan dan kesejahteraan, realokasi serta transmisi sumber daya antar kelompk, wilayah, dan perlindungan terhadap hak-hak pemilikan. Nilai-nilai sosial tersebut dapat dijamin melalui keterlibatan sektor publik.
Ke lima, pertimbangan politik diperlukan dalam upaya pencapaian beberapa tujuan pembangunan lainnya seperti penyerapan tenaga lerja, stabilitas harga, tingkat pertumbuhan yang diiginkan, serta realokasi barang dan jasa secara adil. Kebijakan publik diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan ini.
Berdasarkan kelima hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pemberdayaan petani dalam bentuk pendampingan patut dilakukan oleh pemerintah karena apabila ini tidak dilakukan maka sistem dan struktur pasar yang tercipta cenderung akan bias dari tujuan memberdayakan petani sebagai stakeholder utama pembangunan agrokompleks. Apabila tidak dilindungi dan diberikan perlakuan khusus, misalnya dalam bentuk pemihakan dan pendampingan maka petani sebagai bagian terbesar rakyat Indonesia akan tergilas oleh sistem ekonomi yang bersaing secara sempurna.

4.1.2. Ketidaksiapan Aparatur dan Prasarana
Pembinaan dan pemberdayaan petani dalam bentuk kegiatan pen-dampingan juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Kegiatan ini dilakukan melalui lembaga pemerintah yang berada di tingkat pusat dan daerah. Secara umum dapat diindentifikasi lembaga-lembaga yang tugas dan fungsinya melakukan pembinaan dan pemberdayaan petani. Lembaga-lembaga tersebut adalah Badan Litbang Agrokompleks (Badan Litbang), berbagai direktorat jenderal teknis dalam lingkup Departemen Agrokompleks, Badan Pendidikan dan Pelatihan, Sekretariat Pengendali Bimas, serta lembaga lainnya yang berada di tingkat nasional. Di tingkat daerah lembaga-lembaga ini memiliki institusi yang berkewajiban menjabarkan kebijakan pusat atau nasional. Lembaga-lembaga di daerah adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), serta berbagai UPT Direkorat Jenderal yang berkedudukan di daerah. Selain itu juga universitas dan perguruan tinggi lainnya yang dapat juga melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan petani sesuai dengan fungsi mereka untuk melaksanakan pengabdian masyarakat.
Dengan kelembagaan yang ada saat ini, sudah seharusnya bahwa kegiatan pembinaan dan pemberdayaan petani dapat berlangsung dengan baik. Namun demikian karena keterbatasan tenaga atau sumberdaya manusia, contohnya yaitu rendahnya jumlah dan mutu penyuluh agrokompleks, maka fungsi manajemen pemerintah ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna. Fungsi ini makin sulit direalisasikan karena jumlah petani yang sangat banyak yang tersebar di berbagai daerah yang kurang atau rendah fasilitas transportasi dan komunikasi. Karena demikian situasinya maka kegiatan pendampingan yang dirancang khusus, selain kegiatan rutin pemerintah, masih dapat dibenarkan.



4.1.3. Ketidaksiapan Sistem Pengelolaan
Sistem pengelolaan agrokompleks belum tertata dengan baik dan juga dapat dikatakan tidak antisipatif terhadap perubahan-perubahan. Lebih banyaknya kegiatan proyek dari pada kegiatan rutin adalah salah contoh bahwa memang pengelolaan pembangunan agrokompleks belum berkembang. Banyak kegiatan yang seharusnya menjadi tugas rutin pemerintah serta lembaga dan aparat pemerintahan akhirnya diproyekan (dijadikan kegiatan proyek) karena secara rutin kegiatan-kegiatan itu tidak berjalan. Hal ini terjadi karena memang lembaga dan aparat yang menanganinya tidak mampu melaksanakannya yang pada dasarnya merupakan kelamahan sistem manajemen (pengelolaan).
Ketidaksiapan sistem pengelo laan juga disebabkan karena memang sistemnya sendiri belum berkembang dan antisipatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Dibentuknya berbagai task force untuk menangani masalah-masalah khusus yang datang tiba-tiba adalah contoh bahwa sistem organisasi dan kelembagaan yang ada tidak atau belum dapat diandalkan untuk menangani masalah-masalah itu.
Dalam kondisi dimana sistem pengelolaan belum dapat diandalkan ini - khususnya apabila ada masalah-masalah yang muncul di kalangan petani (misalnya masalah kekeringan panjang) atau demi untuk penyelesaian tugas-tugas tertentu (misalnya mensukseskan program Gema Palagung), atau pencapaian target tertentu (misalnya swasembada beras) – maka perlu ada upaya khusus untuk membina petani. Pembinaan tersebut dapat dalam bentuk pendampingan terhadap petani. Namun demikian perlu dicatat bahwa upaya-upaya yang selama ini dilakukan lebih banyak dalam bentuk proyek dan sangat sedikit dalam bentuk tugas rutin dari lembaga serta aparat pemerintah yang telah ada. dengan

4.1.4. Bias Daerah Marjinal dan Komoditas
Pembangunan agrokompleks berlangsung di seluruh Indonesia. Namun untuk daerah tertentu, pembangunan agrokompleks relatif lebih lambat dari daerah lain. Bila tidak ada intervensi pemerintah maka keterlambatan dan ketertinggalan daerah tertentu bisa saja terjadi. Untuk itu perlu ada upaya untuk memberdayakan petani di daerah yang tertinggal ini.

Komoditas tertentu yang menurut karakteristik agroekologinya hanya dapat ditanam di daerah tertentu patut juga mendapat perhatian. Bila dibiarkan kepada mekanisme pasar, petani akan menanam komoditas yang secara ekonomis akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Namun di daerah yang sama bisa saja ada petani yang tidak melakukan hal tersebut karena ketidakmampuannya. Akibatnya sementara sebagian petani menikmati pendapatan yang baik, sebagian lagi tidak bisa menikmatinya. Dalam kondisi seperti ini maka intervensi pemerintah dalam program pendampingan masih diperlukan.
Perhatian khusus kepada petani dalam bentuk insentif non-ekonomi diperlukan juga dalam hal introduksi dan aplikasi teknologi baru. Hal ini perlu dilakukan karena bila dibiarkan secara alami maka adopsi teknologi biasanya lambat dilakukan. Dengan begitu tujuan penerapan teknologi akan tertunda keberhasilannya. Perhatian khusus kepada petani dapat dipandang juga sebagai daya dorong atau stimulan bagi petani. Dalam banyak hal, sebetulnya petani diragukan kemampuannya oleh pihak luar. Namun sebetulnya petani memiliki potensi yang apabila diberitahukan, digali, dan dikembangkan maka petani akan berkembang sendiri (self empowerment) dan sebab itu akan maju dan dapat diandalkan.

4.2. Program Pendampingan Petani
Salah satu cara untuk memberdayakan dan meningkatkan kemam puan petani adalah melalui program pendampingan. Sesunguhnya pendampingan petani bukanlah sesuatu hal yang baru. Namun akhir-akhir ini istilah pendampingan petani muncul ke permukaan karena adanya berbagai krisis dan tantangan yang dihadapi oleh sektor agrokompleks. Sejak kegiatan penyuluhan agrokompleks digalakkan di Indonesia, program penyuluhan dapat dianggap serupa dengan program pendampingan karena penyuluh agrokompleks tinggal dan hidup di antara petani, memahami dan ikut membantu petani memecahkan persoalannya (Wiraatmadja, 1981). Ide penyuluhan agrokompleks ini sejalan dengan konsep penyuluhan agrokompleks menurut Mosher (1978) yang dengan eksplisit menyatakan adanya kegiatan pendampingan. Menurut Mosher (1978) penyuluhan adalah process of working with rural people through out-of-school education, along those lines of their current interest and need which are closely related to gaining a livelihood, improving the physical level of living of rural families, and fostering rural community welfare. Perbedaaan antara penyuluhan dan pendampingan yaitu bahwa penyuluh agrokompleks belum tentu seorang ahli tapi lebih tepat adalah penyampai informasi, sementara pendamping disyaratkan memiliki klasifikasi sebagai seorang ahli atau setidaknya lebih memahami persoalan dari pada petani. Baik penyuluh maupun pendamping disyaratkan untuk memiliki kontak yang intens dengan petani.
Kegiatan pendampingan terhadap masyarakat lebih banyak diawali oleh LSM melalui program-program pembangunan masyarakat. Andres (1988) mengatakan bahwa bahwa “community workers” adalah mereka yang tinggal dan bekerja di tengah masyarakat sasaran dengan tujuan utama adalah mensukseskan program pembangunan melalui pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Dengan cara ini maka target dan tujuan bisa dicapai pada waktunya dan bahkan dapat dipercepat. Pemberdayaan masyarakat dengan cara ini memiliki kesan bahwa kelompok sasaran (petani) dimanjakan. Kesan ini barangkali benar bila pendamping atau pekerja masya-rakat tidak tekun menatap pada tujuan akhir. Namun kesan ini akan dengan sendirinya hilang apabila pendamping menyadari bahwa apapun yang dilakukan adalah dalam konteks tujuan akhir untuk memberdayakan masyarakat petani.

4.2.1. “Rule” atau “Discretion”
Permasalahan yang selalu muncul dalam program pendampingan adalah seberapa lama program itu dijalankan. Dalam hal ini program pendampingan dapat dinilai sebagai rule atau discretion. Bila program pendampingan adalah suatu rule maka pelaksanaanya dalam jangka panjang merupakan suatu keharusan dan sebab itu layaknya tidak merupakan suatu proyek yang dibatasi oleh suatu dimensi waktu. Dengan dinilainya pendampingan sebagai suatu rule maka kegiatan tersebut harus dilakukan oleh institusi pemerintah yang memang telah atau akan ditugaskan khusus untuk melakukan hal itu. Sebaliknya bila kegiatan pendampingan adalah suatu discretion maka itu berarti bahwa kegiatan pendampingan hanya merupakan suatu kebijakan penyela (intervening policy) terhadap suatu kebijakan lain yang memiliki dimensi temporal yang lebih panjang. Kon-sekwensi sebagai suatu discretion adalah bahwa masa pelaksanaan kebijakan ini terbatas, atau dalam bahasa lain bahwa kebijakan tidak harus dilaksanakan secara berulang-ulang.

Lalu apakah pendampingan itu rule atau discretion. Jawaban yang tampak-nya benar adalah pendampingan merupakan suatu rule. Karena itu pendam-pingan memang harus dilakukan terus menerus hingga tujuannya tercapai. Namun karena merupakan suatu rule maka implikasinya yaitu bahwa lembaga pelaksananya adalah suatu lembaga tetap dan bukannya merupakan suatu task force atau kelompok yang dibentuk dengan pendekatan keproyekan.
Ruang bagi pendampingan sebagai suatu discretion memang masih tetap ada. Seperti diuraikan sebelumnya, apabila memang ada teknologi khusus yang diperkenalkan kepada petani, target tertentu yang harus dicapai yang rasanya akan sulit pencapaiannya bila tidak disertai dengan pendampingan, dan program pembangunan agrokompleks lainnya yang memang harus diupayakan secara serius untuk dilaksanakan, maka pada kondisi ini pendampingan adalah suatu discretion. Namun demikian harus diberi catatan bahwa discretion yang berjalan secara terus menerus atau diperpanjang dari suatu periode ke periode berikutnya pada dasarnya tidak lagi merupakan discretion tetapi telah menjadi suatu rule.

4.2.2. Kejelasan Tujuan dan Sasaran
Kegiatan pendampingan baik sebagai rule atau discretion perlu memiliki tujuan dan sasaran yang jelas. Tujuan dan sasaran bukan merupakan sesuatu abstrak tapi sebaliknya adalah sesuatu yang dapat diukur. Dengan demikian maka evaluasi pencapaian tujuan dan sasaran dapat dilakukan dengan akurat.
Kegiatan pencapaian tujuan dan sasaran akan lebih terarah apabila tujuan dan sasaran dirumuskan secara berjenjang dan bertahap. Dengan cara ini maka dengan mudah dapat dievaluasi apakah pendampingan memiliki kemajuan atau malah stagnan dan tidak menunjukkan adanya dampak yang berarti. Supaya kegiatan pendampingan dapat dievaluasi dengan baik maka paling tidak harus dirumuskan tiga tujuan yaitu dasar, umum, dan operasional.

4.2.3. Kejelasan Jadwal
Pendampingan harus memiliki kejelasan jadwal. Dengan jadwal program yang jelas maka kegiatan akan lebih terarah dan yang lebih penting lagi yaitu dapat dipahami kapan program akan berakhir. Jadwal pada hakekatnya menyatakan target atau sasaran yang ingin dicapai pada kurun waktu tertentu, kegiatan apa yang harus dilakukan untuk pencapaian target itu, serta apa saja yang harus dikorbankan atau dikeluarkan sebagai biaya

4.3. Kriteria dan Karakteristik Pendamping
Pekerjaan sebagai pendamping bukan merupakan suatu tugas yang mudah. Pendampingan adalah suatu keahlian dan dapat dianggap sebagai suatu misi. Andres (1988) mengajukan tiga syarat sebagai suatu pendamping (facilitator) pada pekerjaan pembangunan masyarakat desa, yaitu :
(1) Pendamping harus memiliki kompetensi dan kapasitas kognitif serta pengetahuan yang dalam dan luas di bidangnya;
(2) Pendamping memiliki komitmen profesional, motivasi serta kematangan seperti yang ditujukan dalam pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebelumnya; dan
(3) Pendamping memiliki kemauan yang sangat kuat untuk membagi apa yang dianggapnya baik bagi sesamanya (orang lain).

Selain syarat-syarat ini, pendamping perlu memiliki kemampuan untuk dapat berfungsi sebagai (1) pemrakarsa, (2) penunjuk jalan, (3) pendorong, (4) pendamai, (5) pengumpul fakta, dan (6) pemberi fakta. Bila mereka bekerja dalam kelompok maka pendamping harus dapat bekerjasama, memiliki kesamaan persepsi tentang tugas dan tanggung jawab mereka.
Andres (1988) menyatakan bahwa supaya fungsi sebagai fasilitator dapat berjalan dengan baik maka kemampuan berikut perlu dimiliki:
(1) mengumpulkan data,
(2) analisis dan identifikasi masalah,
(3) melakukan interaksi atau membangun hubungan dengan setiap kalangan,
(4) kemampuan berorganisasi,
(5) kemampuan menata proyek, dan
(6)kemampuan memberikan pelatihan.



Minggu, 14 Desember 2008
Mari Kita Sukseskan Program K2i (Pengentasan Kemiskinan dan Kebodohan serta Membangun Infrastruktur) Menuju Riau Bangkit

Beranda | Profil | Berita | Pidato | Foto | Kata Mereka | Artikel


Foto Terbaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar