Sabtu, 10 Januari 2009

Konstribusi SLPHT

SAINS PETANI SEBAGAI KONTRIBUSI SLPHT
UNTUK PEMBERDAYAAN PETANI

Kasumbogo Untung
Pendahuluan
Petani merupakan bagian terbesar produsen pangan dan produk-produk pertanian lainnya seharusnya memegang peran dan pelaksana utama pembangunan pertanian di negara Indonesia yang agraris. Setelah kita melaksanakan pembangunan pertanian selama lebih dari setengah abad yang terjadi di lapangan tidak demikian. Petani dan masyarakat pedesaan dalam posisi yang marginal dan memprihatinkan. Petani belum ditempatkan sebagai subyek atau penentu keputusan kegiatan pembangunan pertanian namun tetap sebagai obyek pembangunan pertanian yang secara nasional dirancang dan dilaksanakan oleh Pemerintah, bersama dengan segala jajaran dan petugasnya, serta didukung oleh mitra kerja Pemerintah termasuk dunia usaha dan dunia pendidikan dan penelitian.
Banyak jenis program dan proyek pemberdayaan petani telah dilaksanakan oleh Pemerintah, melalui Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya, namun program-program tersebut masih terpusat pada ketergantungan petani pada Pemerintah. Pola pemberdayaan masih satu arah dengan inisiatif dan pelaksana program adalah Pemerintah dengan para petugas lapangannya. Program pemberdayaan petani kurang bersifat partisipatoris sehingga kurang efektif dalam membebaskan petani dari berbagai bentuk cekaman dan tekanan yang menekan kehidupan mereka.
Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu melaksanakan program pelatihan petani PHT melalui kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) dengan menerapkan pendekatan partisipatoris dan prinsip petani belajar dari pengalaman telah menghasilkan harapan bahwa petani dapat mandiri, percaya diri dan lebih bermartabat sebagai manusia bebas dalam menentukan nasib dan masa depan mereka. Program pelatihan SLPHT dapat menghasilkan para alumni yang mampu melakukan kegiatan perencanaan dan percobaan untuk memperoleh teknologi budidaya tanaman yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lokal dan kebutuhan petani yang spesifik. Makalah ini menguraikan lebih lanjut tentang beberapa latar belakang masalah, prinsip dan sasaran pelaksanaan SLPHT serta pemunculan gagasan Sains Petani oleh para alumni SLPHT. Makalah juga akan membahas bagaimana seharusnya para peneliti dari Universitas menyikapi gagasan Sains Petani.

Kebijakan Ketahanan Pangan dengan Pertanian Konvensional
Akar permasalahan yang membawa petani pada kondisi ketergantungan adalah kebijakan Pemerintah tentang Ketahanan Pangan atau dulu dinamakan program Swa Sembada Beras atau Swa Sembada Pangan. Program ini bertujuan memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk yang setiap tahun selalu meningkat seiring dengan laju peningkatan populasi penduduk yang masih secara eksponensial. Keinginan agar bangsa ini dapat berswa sembada beras sudah menjadi program utama Pemerintah Indonesia sejak Kabinet Indonesia yang pertama.
Sejak tahun 1970an Pemerintah Presiden Suharto telah menetapkan kebijakan bahwa untuk meningkatkan produksi padi secara cepat hanya dapat dicapai bila para petani padi dapat menerapkan teknologi pertanian modern yang kemudian dikenal sebagai teknologi "revolusi hijau". Teknologi revolusi hijau merupakan teknologi budidaya tanaman padi yang pada waktu itu dimasyarakatkan oleh Pemerintah dengan istilah Panca Usaha Tani (pengolahan tanah, pemupukan dengan pupuk buatan, perbaikan jaringan pengairan, penanaman benih unggul, serta pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida). Kebijakan tersebut pada prinsipnya tetap diikuti oleh Pemerintah periode-periode berikutnya. Setiap tahun Pemerintah selalu menetapkan target produksi padi yang dihasilkan oleh para petani padi. Keberhasilan suatu Kabinet atau Menteri Pertanian dalam mencapai target produksi selalu digunakan sebagai salah satu kriteria keberhasilan Pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Oleh karena itu Pemerintah selalu berusaha membuat banyak kebijakan, program proyek, dan bantuan yang ditujukan pada petani agar mereka dapat meningkatkan produksi sawahnya.
Penerapan teknologi pertanian konvesional dalam program nasional Ketahanan Pangan di Indonesia oleh Pemerintah dibebankan pada puluhan juta petani padi. Pemerintah menyediakan berbagai bentuk fasilitas yang dharapkan dapat digunakan petani sebaik mungkin untuk meningkatkan produksi sawahnya. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain dalam bentuk penyediaan benih, pupuk kimia, pestisida, sistem jaringan irigasi dan kredit. Program peningkatan produksi pertanian dari Pemerintah yang didukung oleh dunia industri dan para peneliti/pakar/akademisi semakin memojokkan petani (khususnya petani gurem) dalam posisi yang tidak berdaya dalam menentukan masa depannya.
Pertanian dengan teknologi revolusi hijau sering disebut sebagai pertanian konvensional, pertanian modern, pertanian industri atau pertanian boros energi. Disebut sebagai pertanian konvensional karena teknologi tersebut sangat umum digunakan di seluruh dunia dan pada kebanyakan komoditi pertanian penting. Pertanian konvensional dinamakan pertanian modern karena pertanian ini memanfaatkan berbagai masukan produksi berupa hasil teknologi modern seperti varietas unggul, pupuk buatan dan pestisida kimia. Hampir semua masukan produksi modern berasal dari luar ekosistem dan bahan bakunya berasal dari bahan bakar fossil sebagai sumberdaya alam tak terbarukan Karena itu sistem pertanian modern sering juga dinamakan sebagai pertanian boros energi. Pertanian konvensional juga dikenal sebagai pertanian industri karena kegiatan produksi pertanian dianggap sebagai kegiatan pabrik yang memproses masukan produksi seperti benih, pupuk, dan yang lain menjadi keluaran yang berupa pangan dan hasil pertanian lainnya serta keuntungan usaha tani. Gliessmann (2007) menyatakan bahwa pendekatan dan praktek pertanian konvensional terutama untuk peningkatan produksi pangan telah diikuti banyak negara baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Menurut Gliessmann, teknologi pertanian konvnsional tersebut bertumpu pada tehnik-tehnik budidaya sebagai berikut:
1) Pengolahan Tanah Intensif,
2) Budidaya Monokultur,
3) Aplikasi Berbagai Pupuk Sintetik,
4) Perluasan dan intensifikasi jaringan irigasi,
5) Pengendalian hama, penyakit, gulma dengan pestisida kimia,
6) Manipulasi Genom Tanaman dan Binatang yang menghasilkan varietas-varietas unggul tanaman melalui teknologi pemuliaan tanaman serta rekayasa genetik.
Agar pertanian konvensional berhasil meningkatkan produksi sesuai target jangka pendek diperlukan:
• inovasi teknologi yang cepat,
• modal besar agar produsen dapat menerapkan teknologi produksi dan pengelolaannya,
• pertanian skala besar,
• penanaman varietas unggul secara seragam dalam areal luas dan terus menerus sepanjang musim,
• penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif dan ekstensif,
• efisiensi penggunaan tenaga kerja tinggi sehingga mengarah pada penggunaan alat dan mesin pertanian,
• penerapan prinsip-prinsip agrobisnis.

Dampak Pertanian Konvensional
Dari pengalaman selama berpuluh tahun di semua negara, penerapan pertanian konvensional tidak membawa keadaan yang lebih baik tetapi justru menimbulkan masalah-masalah baru. Penerapan teknologi pertanian konvensional secara luas dan seragam mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Menurut Gliessmann (2007) dampak samping pertanian konvensional meliputi:
1. Degradasi dan Penurunan Kesuburan Tanah.
2. Penggunaan Air Berkelebihan dan Kerusakan Sistem Hidrologi.
3. Pencemaran Lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan.
4. Ketergantungan petani pada Input-input Eksternal.
5. Kehilangan Diversitas Genetik seperti berbagai jenis tanaman dan varietas tanaman pangan lokal/tradisional.
6. Peningkatan kesenjangan Global antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang
7. Kehilangan Pengendalian Komunitas Lokal terhadap Produksi Pertanian
Pertanian Konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan serta semakin menghabiskan energi dari sumberdaya alam tidak terbarukan. Harga energi semakin lama semakin meningkat karena persediaan bahan bakar fosil semakin habis. Dilihat dari sisi ekonomi, keuntungan yang diperoleh dari pertanian konvensional semakin menurun. Fenomena pertanian konvensional dengan segala dampak sampingnya tersebut tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi sudah dan sedang terjadi di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan program ketahanan pangan. Kondisi lingkungan dan ekonomi di ekosistem persawahan kita sudah sedemikian kritis sehingga sulit untuk melaksanakan kegiatan intensifikasi pertanian secara efektif dan efisien. Berbagai bentuk pemborosan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya sedang terjadi di lahan-lahan sawah dan pedesaan saat ini. Kita akan mewarisi generasi mendatang dengan kerusakan dan biaya lingkungan yang sangat mahal yang sulit untuk dikembalikan lagi.
Dengan kesadaran manusia akan lingkungan dan masa depan bumi, praktek Pertanian Konvensional secara bertahap harus diubah dan dikonversikan menjadi Pertanian Berkelanjutan yang bertumpu pada kemampuan, kemandirian dan kreativitas petani dalam mengelola sumberdaya lokal yang mereka miliki. Dukungan politik Pemerintah terhadap konversi pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan harus jelas, tegas dan konsisten agar ekosistem pertanian di Indonesia dapat segera diselamatkan dan dihindarkan dari kerusakan yang lebih parah.

Ketidakberdayaan Petani
Penerapan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada teknologi pertanian konvensional membuat petani dan kelompok tani semakin tidak berdaya, tidak mandiri dan tidak percaya diri. Mereka sangat tergantung pada uluran tangan pihak-pihak lain terutama pemerintah, pengusaha dan peneliti. Dengan ketergantungan tersebut berbagai potensi, aktivitas, kreatifitas dan kearifan petani menjadi tersumbat dan tidak dapat dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa.
Berbagai kendala yang dihadapi petani yang meliputi kendala internal seperti keterbatasan bibit, air, pupuk, pestisida, modal, pengetahuan dan teknologi serta kendala eksternal seperti akses pasar, penetapan harga, perubahan iklim dan lain-lainnya telah digunakan oleh Pemerintah sebagai alasan melakukan intervensi dalam proses pengambilan keputusan petani dalam mengelola lahannya sendiri yang terbatas. Ketergantungan petani pada Pemerintah, pengusaha sarana produksi serta rekomendasi peneliti membuat petani semakin tidak mampu dan tidak berani mengambil keputusan yang terbaik dalam mengelola produksi pertanian yang sesuai dengan keberadaan dan potensi mereka sendiri yang sangat khas lokal.
Petani selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dalam program pembangunan pertanian yang dirancang dan dilaksanakan Pemerintah yang didukung oleh pengusaha dan peneliti, termasuk peneliti dari Perguruan Tinggi. Bagi Pemerintah petani sampai saat ini masih dianggap sebagai obyek berbagai program dan proyek pembangunan pertanian. Bagi pengusaha petani dianggap sebagai pasar potensial banyak jenis produk-produk industri pertanian seperti benih, pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian. Bagi sebagian peneliti dan akademisi, petani dianggap sebagai obyek kegiatan penelitian serta sebagai pengguna akhir hasil kegiatan atau proyek penelitian yang dilaksanakan atas biaya dari lembaga pemerintah atau swasta sesuai dengan "pesan-pesan" tertentu. Banyak kegiatan penelitian universitas yang kurang relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Persepsi dan orientasi peneliti tentang suatu permasalahan lapangan seringkali berbeda dengan persepsi dan orientasi petani. Di samping banyak topik penelitian para peneliti yang kurang relevan, juga sebagian besar hasil-hasil penelitian tidak sampai pada tangan petani.

Pemberdayaan Petani melalui SLPHT
Program/Proyek Pemerintah yang dinilai paling berhasil dalam lebih memberdayakan petani adalah pelatihan petani untuk menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui program SLPHT (Sekolah Lapangan PHT). Sejak 1989 sampai sekarang lebih dari satu juta petani Indonesia sudah mengikuti program SLPHT yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan dukungan dana APBN, APBD, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Program SLPHT terutama dipusatkan pada pelatihan para petani padi di sentra-sentra beras di beberapa propinsi. Sampai saat ini, SLPHT juga diselenggarakan untuk melatih para petani palawija, sayuran dataran rendah, sayuran dataran tinggi dan perkebunan.
Asas-asas SLPHT padi adalah menggunakan sawah selama satu musim tanam sebagai sarana dan tempat belajar utama bagi petani untuk mengelola ekosistem pertanian secara berkelanjutan. Cara belajar lewat pengalaman oleh petani dengan melakukan pengamatan agroekosistem, mengungkapkan dan menganalisis hasil pengamatan, serta menyimpulkan dan menerapkan teknologi dengan metode serta bahan yang praktis dan sesuai dengan kondisi ekosistem dan petani yang khas lokal.
Selama satu musim tanam petani bersama kelompoknya belajar sendiri dan memutuskan sendiri teknologi pertanian yang paling tepat yang bisa mereka lakakukan sehingga mereka tidak tergantung pada orang-orang atau pihak-pihak lain. Mengamati, menghitung, mengukur, membandingkan, menganalisis, membuat hipotesis serta mengambil kesimpulan atas dasar penalaran ilmiah, merupakan kegiatan yang mereka lakukan pada setiap hari pertemuan. Bila petani ingin mendalami topik-topik khusus yang ingin mereka ketahui, mereka dilatih melakukan berbagai bentuk pengujian dan percobaan yang mereka rancang dan amati bersama. Hasil pengujian dan percobaan tersebut menghasilkan beberapa teknologi yang menurut keyakinan mereka dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Topik-topik khusus meliputi berbagai masalah pengelolaan ekosistem termasuk budidaya tanaman, pengelolaan tanah dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman sampai masalah pengolahan dan pemasaran hasil (Untung, 2007).
Setelah petani menyelesaikan satu periode SLPHT (disebut "alumni" SLPHT) banyak pengalaman, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan coba-coba yang mereka peroleh di SLPHT kemudian diterapkan dan dilanjutkan di lahan sawahnya masing-masing. Dalam menerapkan berbagai prinsip dan teknologi PHT para petani alumni SLPHT selalu melaksanakannya secara terpadu, holistik dan berkelompok dalam kelompok taninya masing-masing. Hasil positif yang dirasakan petani setelah melalui pengalaman bertahun-tahun, para alumni SLPHT merasa semakin mampu menyelesaikan berbagai permasalahannya selama ini secara mandiri.
Sejak penyelenggaraan SLPHT, banyak konsep dan teknologi yang ditemukan sendiri oleh petani alumni SLPHT di banyak propinsi dan pada banyak komoditi pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan). Beberapa teknologi kreasi petani dapat menghasilkan keluaran yang secara ekologi dan ekonomi lebih baik daripada teknologi hasil para peneliti dan lembaga-lembaga penelitian, termasuk peneliti Universitas. Berbeda dengan temuan para peneliti maka hasil temuan petani dengan cepat dan luas diseminasikan pada para petani di tingkat lokal, daerah, nasional dan bahkan sampai tingkat global. Kelihatannya proses diseminasi hasil percobaan ke pengguna akhir lebih cepat dan efektif melalui jaringan komunikasi petani daripada melalui prosedur birokrasi pemerintah. Hasil-hasil dan perolehan tersebut membuat petani lebih percaya diri dan ingin disejajarkan dengan kelompok peneliti profesional yang bekerja di lembaga-lembaga penelitian pertanian dan universitas.

Konsep Sains Petani
Dari pengalaman-pengalaman tersebut di atas kelompok petani alumni SLPHT memunculkan istilah Sains Petani yang mungkin saya artikan sebagai suatu sains yang dikembangkan dengan prinsip: " dari, oleh dan untuk petani". Petani alumni SLPHT menyadari bahwa penyelesaian permasalahan lapangan yang dinamis tidak dapat dilakukan dengan mengikuti kebiasaan orang tua atau orang sekitarnya tetapi harus dapat dibuktikan dengan penalaran ilmiah. Caranya adalah dengan melakukan percobaan, pengkajian, pengamatan, analisis dan pengambilan kesimpulan tentang penyelesaian masalah yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan petani setempat. Kegiatan-kegiatan percobaan dan pengkajian tersebut dilaksanakan sendiri oleh petani dan kelompok tani. Bila dipandang perlu dapat dilaksanakan bekerjasama dengan pihak-pihak lain, termasuk peneliti dari universitas. Petani sudah memiliki modal untuk mengembangkan dan menerapkan Sains Petani yang berupa intuisi, pengalaman, pengetahuan dan budaya baru dalam mengelola secara bijaksana dan berkelanjutan segala sumberdaya yang mereka miliki, termasuk sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber dana yang terbatas.
Konsep Sains Petani perlu ditanggapi oleh komunitas peneliti di lembaga-lembaga penelitian dan uniiversitas secara positif dan kreatif. Meskipun dalam pihak lain gagasan Sains Petani dapat dianggap sebagai tantangan dan kritik bagi pemerintah, universitas dan para peneliti agar mereka meninjau kembali kebijakan, strategi dan program yang menempatkan petani pada posisi lemah, yaitu di bawah posisi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Universitas. Kita harus menempatkan petani pada posisi yang sejajar sebagai mitra kerja Pemerintah, lembaga Penelitian dan Universitas dalam melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian.
Petani memerlukan pengakuan, dukungan serta kerjasama yang positif untuk mengembangkan Sains Petani sehingga petani secara mandiri mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas temuan, kearifan dan teknologi petani yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan sosial budaya setempat yang beranekaragam. Diharapkan bahwa dengan kerjasama antara "petani peneliti" dengan para peneliti universitas dapat memperkaya dan memajukan khazanah ilmu pengetahuan kita.

























KESIMPULAN

Program Ketahanan Pangan untuk mencapai sasaran produksi pangan jangka pendek semakin memojokkan petani pada posisi lemah, terpinggirkan serta tidak berdaya. Petani tidak mampu secara mandiri mengambil keputusan mengenai pengelolaan lahan sawahnya yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
Penerapan teknologi pertanian konvensional termasuk untuk peningkatan produksi pangan mengakibatkan dampak samping negatif bagi lingkungan, sosial budaya serta secara ekonomi semakin tidak efektif dan efisien.
Pelatihan SLPHT mampu mengubah petani alumni SLPHT dari budaya pasif tidak berdaya menjadi budaya aktif, kreatif, inovatif dan berwawasan ilmiah.
Sains Petani sebagai suatu ilmu yang dikembangkan dengan prinsip "dari, oleh dan untuk" petani merupakan pernyataan kemandirian dan kemampuan petani sekaligus sebagai koreksi bagi komunitas peneliti pertanian yang masih mempertahankan kesenjangan komunikasi dengan petani.
Konsep Sains Petani perlu ditanggapi secara positif dan kreatif oleh para peneliti, yaitu dengan menerapkan kemitraan kerja sejajar dengan para petani.



Daftar Pustaka


Gliessman, S.R. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food System. Second Edition. CRC Press. New York.

Pemberdayaan petani Lahan Sawah

ABSTRAK

Kegiatan pertanian lahan sawah di Jawa Timur didominasi oleh usaha skala sempit dan dikelola secara perorangan. Hal ini menyebabkan produktivitas beragam dan secara ekonomis kurang efisien, sehingga daya saing hasil rendah. Oleh karena itu pada musim hujan 2000/2001dilakukan pengkajian dengan tujuan memperoleh model pemberdayaan petani melalui “Corporate Farming” spesifik lokasi sesuai kesepakatan kelompok tani.
Pengkajian dilaksanakan pada kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi dengan hamparan sawah irigasi seluas 100 ha. Sebagai pembanding digunakan kelompok tani Marsudi Tani pada kecamatan yang sama. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pemberdayaan petani melalui model “Corporate Farming” belum dapat diterima petani, terutama penyerahan pengelolaan lahan dan konsolidasi lahan. Sekitar 60 persen petani tidak bersedia lahan usahanya dikelola dalam satu manajemen dan petani sebagai pemegang saham. Pemberdayaan petani yang sesuai dan dapat diterima petani adalah model “Cooperative Farming”, yaitu pengelolaan sarana produksi dan pemasaran secara korporasi. Penerapan model “Cooperative Farming” mampu menekan harga sarana produksi, menurunkan produktivitas minimal untuk mencapai titik impas 5–15 persen, dan dapat meningkatkan daya saing hasil padi, karena dapat meningkatkan produktivitas 5 – 37 persen, meningkatkan keuntungan bersih 14 – 64 persen dan keunggulan kompetitif lebih tinggi 7 – 22 persen.
Kata kunci : pemberdayaan petani, usahatani kooperatif, usaha tani padi sawah. Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono)









PENDAHULUAN

Sektor pertanian hingga saat ini dan masa akan datang masih merupakan sektor andalan pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Akan tetapi kegiatan pertanian lahan sawah di Jawa Timur didominasi oleh usaha skala kecil, dimana sekitar 72 persen keluarga tani memiliki lahan kurang dari 0,50 ha. Walaupun dengan rata-rata pemilikan lahan yang sempit, Jawa Timur merupakan salah satu pemasok utama beras nasional dengan kontribusi sekitar 18,3 persen. Produksi padi pada tahun 1999 sekitar 9 juta ton gabah kering giling (GKG) yang dihasilkan dari areal pertanaman 1,76 juta ha dan produktivitas 51,25 kw/ha (Anonimous, 2000). Produktivitas tersebut lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan 10 tahun yang lalu, yaitu 51,06 kw/ha pada tahun 1989 (Anonimous, 1989). Akan tetapi peningkatan produktivitas tersebut masih belum optimal karena masih beragamnya hasil yang diperoleh antara petani satu dengan lainnya. Selain itu peningkatan produktivitas belum sepenuhnya sejalan dengan peningkatan pendapatan petani akibat kurang efisiennya usahatani. Hal ini diduga akibat penggunaan input yang tidak tepat waktu dan sasaran, bahkan beberapa jenis input seperti pupuk N digunakan secara berlebihan. Akibat lebih jauh, produk pertanian di dalam negeri belum mampu bersaing dengan harga produk pertanian dari luar negeri (Suyamto dan Kasijadi, 2000).
Dalam rangka meningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani padi, telah tersedia rakitan teknologi budidaya dan pemupukan spesifik lokasi (Suwono et al., 1999 dan 2000). Akan tetapi rakitan tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh petani. Belum optimalnya produktivitas dan kurang efisiennya usaha tani skala kecil disebabkan karena petani sebagai manajer belum mampu secara penuh menerapkan rakitan teknologi usahatani padi spesifik lokasi. Akar permasalahannya berasal dari tingkat pendidikan petani yang rendah, modal dan informasi teknologi baru masih kurang, pengadaan sarana produksi dilakukan secara sendiri-sendiri sehingga harganya menjadi mahal dan penggunaan per satuan luas relatif lebih banyak, kurang efisiensinya penggunaan tenaga kerja karena sempitnya lahan yang dikelola, dan pemasaran hasil yang dilakukan secara perorangan sehingga tidak mempunyai kekuatan daya tawar.
Terdapat beberapa model usahatani yang dapat menanggulangi masalah tersebut, diantaranya adalah model Corporate Farming (Coulter et al., 1999). Corporate Farming (CF) adalah usahatani sehamparan yang pengelolaan lahannya dilaksanakan pada suatu lembaga agribisnis (satu manajer) dengan perjanjian kerjasama ekonomi tertentu yang disepakati, dimana petani menjadi pemegang saham sesuai dengan luas hamparan yang dimilikinya.
Keuntungan model ini secara ekonomi adalah : biaya produksi dapat ditekan, efisiensi produksi meningkat, dan pendapatan anggota dapat meningkat. Sedangkan keuntungan sosialnya adalah : pendidikan bagi masyarakat desa, kerjasama yang kuat antara anggota, dan menghidupkan kembali suasana pembangunan di pedesaan (Mamondon Bah et al., 1997).
Dengan demikian, apabila model CF dapat diterapkan dan diikuti berkembangnya kegiatan off-farm, maka produktivitas dan efisiensi usahatani serta pendapatan petani akan meningkat. Pengkajian ini bertujuan untuk mempelajari dan memperoleh model CF spesifik lokasi sesuai kesepakatan kelompok tani berbasis padi di lahan sawah irigasi yang dapat meningkatkan daya saing hasil.
METODE PENELITIAN

Cakupan Pengkajian
Pengkajian pemberdayaan petani dalam perspektif CF di Jawa Timur dilakukan pada kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130 Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi dengan luas hamparan sawah 100 ha, pada MH 2000/2001. Penentuan lokasi di dasarkan atas pertimbangan : lokasi tersebut adalah pelaksana Program Ketahanan Pangan, merupakan sentra produksi padi dengan pola tanam setahun padi–padi–padi, dan kesepakatan antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan Ngawi, Balai Informasi Penyuluhan Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso.
Pelaksanaan pengkajian dilakukan langsung oleh kelompok tani beserta anggotanya di bawah bimbingan dan difasilitasi oleh peneliti, penyuluh pertanian dan dinas terkait. Kegiatan pengkajian dilaksanakan secara bertahap, yaitu : (1) Tahap pertama, dilakukan studi diagnostik untuk menentukan lokasi pengkajian dan memahami potensi, peluang dan tantangan pengembangan CF spesifik lokasi.
Berdasarkan hasil studi diagnostik ini disusun model CF spesifik lokasi; (2) Tahap kedua, model yang diperoleh disosialisasikan kepada pemerintah daerah dan petani dalam bentuk pelaksanaan beberapa bagian kegiatan atau seluruh kegiatan dalam model; (3) Tahap ketiga, pelaksaaan model CF spesifik lokasi, terutama kegiatan usahatani padi MH 2000/ 2001; dan (4) Tahap keempat, dilaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan program CF spesifik lokasi dan penyempurnaan model CF yang ada, sehingga diperoleh model CF yang lebih mantap. Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan model CF spesifik lokasi, digunakan pembanding yaitu : kegiatan kelompok tani beserta anggotanya yang sama sebelum adanya model CF (MH 1999/2000), dan kegiatan kelompok tani Marsudi Tani beserta anggotanya di Desa Cangaan, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi pada MH 2000/2001.
Rakitan teknologi sistem usahatani padi spesifik lokasi yang diintroduksikan dalam model CF didasarkan kepada kondisi agro-ekologi khususnya status hara tanah dan permasalahan yang ada setiap musim pada lokasi pengkajian. Komponen teknologi yang diintroduksikan meliputi : varietas unggul, luas persemaian, benih berlabel, tanam bibit umur muda sekitar 21 hari setelah sebar, sistem tanam jajar legowo dengan jarak tanam 20 cm X 40 cm X 10 cm tanam 2 – 3 tanaman per-rumpun, pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah, dan pengendalian hama penyakit berdasarkan pemantauan.

Metode Analisis
Pengumpulan data dilakukan dengan cara Farm Record Keeping pada kelompok tani beserta anggotanya. Data yang dikumpulkan meliputi : penentuan paket teknologi usahatani padi, persiapan penyediaan saprodi, pelaksanaan usahatani dan pemasaran hasil. Untuk mengukur tingkat keberhasilan model CF spesifik lokasi dalam menghasilkan keuntungan berdasarkan biaya produksi dan harga hasil digunakan analisis titik impas (Downey dan Erickson, 1987), yaitu :
(a) Atas dasar unit (kg) :
Bv
Hu
Bt

=
Ti
dimana :
Ti = titik impas (kg)
Bt = biaya tetap (Rp)
Bv = biaya variabel per unit (Rp/kg)
Hu = harga produk (Rp/kg)
(b) Atas dasar penjualan (Rp) :
s
Bv
Bt
=
=
1
Ti
dimana :
Ti = titik impas (Rp)
Bv = biaya variabel (Rp)
s = volume penjualan (kg)
Untuk mengukur tingkat keberhasilan model CF spesifik lokasi dalam meningkatkan daya saing produk padi dilakukan dengan pendekatan :
Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono)
Tabel 1. Sumber Mata Pencaharian Penduduk Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, Tahun 2000 Sumber mata pencaharian Jumlah orang Persentase Petani 453 37,3 Buruh tani 490 40,3 Tukang 39 3,2 PNS/Pensiunan 23 1,9 Pedagang 28 2,3 Non-pertanian 183 15,0 Total1.216100,0
Sumber : Buku Monografi Desa, 2000
(a) Analisis Nisbah Peningkatan Produktivitas dan Keuntungan Bersih (NKB), yaitu :
pt
KB
pt
KB
cf
KB
NKB

=
, dimana :
KB cf = keuntungan bersih atau produktivitas hasil dari model CF KB pt = keuntungan bersih atau produktivitas teknologi petani
(b) Nilai keuntungan kompetitif yang menggambarkan tingkat produksi atau harga minimal dari suatu teknologi terhadap teknologi sebelumnya sehingga mencapai keuntungan sama Pti vs Pts = (Bti + Kts)/Hti, dimana :
Pti vs Pts = produksi/harga minimal teknologi introduksi Bti = biaya produksi teknologi introduksi Kts = keuntungan dari teknologi sebelumnya Hti = produktivitas aktual teknologi introduksi/harga produksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah dan Kelompok Tani Desa Bintoyo terletak sekitar 5 km dari ibukota Kecamatan Padas atau 14 km dari ibukota Kabupaten Ngawi. Kondisi jalan masuk (access road) ke desa cukup baik sehingga waktu tempuh untuk mencapai ke lokasi tersebut relatif singkat, baik dengan kendaraan roda empat maupun kendaraan roda dua. Desa Bintoyo terletak pada ketingian 50 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 30 oC.
Desa ini merupakan daerah pertanian tanaman pangan dengan penggunaan lahan dominan berupa sawah irigasi teknis. Berdasarkan informasi dari Buku Monografi Desa (2000), luas desa sekitar 248 ha dengan penggunaan lahan sawah 72,5 persen, lahan darat dan pemukiman 12,8 persen, serta penggunaan lainnya, seperti jalan, jembatan, kuburan, dan fasilitas sosial lainnya 5,7 persen. Sumber mata pencaharian penduduk desa ini umumnya dari sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Tabel 1).
Status petani mencakup mereka yang tergolong petani pemilik penggarap dan petani penggarap atau penyewa. Sedangkan buruh tani adalah mereka yang tidak menggarap lahan tetapi terlibat dalam kegiatan usahatani seperti penanaman, penyiangan dan pemanenan yang umumnya secara borongan. Sebagian petani tersebut ada juga yang mengusahakan ternak, seperti sapi (7,7%), kambing (0,7%), dan unggas (32,9%). Rata-rata penguasaan ternak tersebut (bagi yang mengusahakannya) adalah sapi sekitar 2,3 ekor/KK, unggas 8,3 ekor/KK dan kambing 9,4 ekor/KK. Sedangkan sumber mata pencaharian sektor nonpertanian antara 120 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130

Tabel 2. Hasil Analisis Tanah Sawah di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, MH Tahun 2000/2001 Unsur yang dianalisis Nilai Harkat pH H 2 O pH KCl
C-Organik (%)
N-Total (%)
P-Olsen (ppm)
K-tersedia (me/100 gr)
Na (me/100 gr)
Ca (me/100 gr)
Mg (me/100 gr)
KTK (me/100 gr)
7,4
6,2
1,31
0,14
24,90
0,43
1,14
31,8
1,38
58,67
-
-
rendah
rendah
tinggi
sedang
tinggi
sangat tinggi
sedang
sangat tinggi
Keterangan : analisis dilakukan di laboratorium tanah Fak. Pertanian UNIBRAW, 2000 lain buruh industri dan perhubungan atau transportasi, misalnya menjadi pengemudi atau kernet angkutan kota/pedesaan atau awak bus antar kota.
Kondisi lahan sawah di desa Bintoyo umumnya sawah irigasi teknis (177,8 ha) dan hanya sebagian kecil tanah sawah tadah hujan (2 ha). Sumber pengairan sawah berasal dari waduk buatan, yakni waduk Pondok. Menurut petani setempat tingkat kesuburan tanah sawah tersebut termasuk baik, dimana kriteria kesuburan tanah menurut petani adalah mudahnya akses terhadap pengairan sehingga tanah dapat ditanami sepanjang tahun. Secara umum tanah di wilayah ini memiliki tekstur lempung liat berpasir dengan jenis tanah bervariasi dari aluvial kelabu hingga Grumosol kelabu. Berdasarkan hasil analisis tanah, lahan sawah di desa Bintoyo mempunyai kandungan hara organik rendah, P tinggi dan K sedang
(Tabel 2).
Fasilitas pertanian yang ada di Desa Bintoyo relatif masih terbatas. Di desa ini tersedia dua unit pabrik penggilingan padi (RMU), satu buah Bank Kredit Desa (BKD), lima buah kelompok simpan pinjam (KSP), satu Koperasi Pertanian Tri Mulya dengan anggota 320 orang petani dan 350 buah lumbung paceklik. Namun demikian aktivitas Koperasi Pertanian dan lumbung paceklik tersebut sudah sangat berkurang akhir-akhir ini.
Wilayah kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur meliputi areal sawah seluas 100 ha dengan jumlah anggota 327 orang. Rata-rata luas lahan garapan petani adalah 0,31 ha dengan variasi luas lahan sawah garapan antar petani relatif rendah, baik pada petani pemilik penggarap maupun petani penggarap (Tabel 3). Perspektif Pengembangan Corporate Farming Spesifik Lokasi Hasil diagnosis menyimpulkan bahwa anggota kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur belum dapat menerima konsep model CF. Hal ini ditunjukkan dari data bahwa sekitar 65 persen petani pemilik penggarap tidak sepakat menyerahkan lahannya untuk dikelola oleh satu manajemen dan petani hanya sebagai pemegang saham seluas lahan yang diserahkan.
Beberapa kegiatan usaha pertanian yang cukup meyakinkan dapat disepakati oleh petani pemilik penggarap untuk dilakukan secara kolektif, adalah pengaturan pengairan dan pengolahan tanah (Tabel 4). Hal yang menarik adalah bahwa 60,9 persen petani pemilik penggarap setuju untuk melaksanakan penataan pematang sawah jika diperlukan. Namun demikian pada umumnya mereka tidak bersedia 121 Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono)

Tabel 3. Luas Penguasaan Lahan Sawah pada Kelompok Tani Sido Mukti dan Sido Makmur Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, 2000
Uraian Petani Penggarap
Petani Pemilik Penggarap
Total/rata-rata Jumlah petani :
- orang
110
217
327
- persen
33,6
66,4
100
Luas garapan (ha)
- paling sempit
0,20
0,25
0,23
- paling luas
0,50
0,50
0,50
- rerata
0,42
0,43
0,43
Standar deviasi
0,07
0,07
0,07
Tabel 4. Persepsi Petani (%) Mengenai Kemungkinan Pelaksanaan Model CF Di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, Tahun 2000
Petani Penggarap
Pemilik Penggarap
Diskripsi/kegiatan usaha pertanian
padi sawah
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Persemaian/pembibitan padi
69,2
30,8
47,8
52,2
Pengolahan tanah
69,2
30,8
69,6
30,4
Pengaturan/pengairan
100,0
0,0
95,7
4,3
Pengendalian hama/penyakit tanaman
53,8
46,2
52,2
47,8
Pasca panen dan pemasaran
61,5
38,5
56,5
43,5
Berminat jadi pekerja pada lembaga agribisnis
76,9
23,1
56,5
43,5
Sepakat menyerahkan pengelolaan lahan
38,5
61,5
34,8
65,2
Sepakat menata pematang sawah
38,5
61,5
60,9
39,1
Rata-rata
58,6
41,4
59,2
40,8
untuk menanggung biaya kegiatan tersebut dan batas-batas fisik kepemilikan lahan tersebut harus tetap ada dan dapat dikenali. Berdasarkan hasil diagnosis, disusun konsep model CF spesifik lokasi. Model ini menjadi : (a) pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil dilakukan oleh satu manajemen dalam kelompok; (b) pelaksanaan usahatani oleh anggota kelompok tani secara individu, dan pelaksanaannya mengacu pada teknologi kesepakatan bersama oleh anggota kelompok tani berdasarkan masukan dari peneliti/penyuluh (top-down) dan pengalaman petani (bottom-up); dan (c) kegiatan pengolahan hasil dan pemasaran dilakukan oleh anggota kelompok tani didasarkan peluang dan kekuatan serta sumberdaya pertanian yang ada di daerah setempat (Gambar 1). Oleh karena itu, model CF spesifik lokasi yang sesuai dikembangkan di kelompok tani di desa Bintoyo mengikuti konsep model Cooperative Farming yang dikembangkan oleh Kasijadi (2000), yaitu model pemberdayaan petani dalam kelompok tani melalui: (1) rekayasa sosial dengan penguatan kelembagaan tani, penyuluhan dan pengembangan sumberdaya manusia; (2) rekayasa ekonomi dengan pengembangan akses permodalan, sarana produksi dan pasar; (3) rekayasa teknologi dengan menerapkan satu paket teknologi dari hasil kesepakatan gabungan antara kebiasaan petani dan teknologi anjuran dan (4) rekayasa nilai tambah melalui pengembangan usaha off-farm secara vertikal dan horisontal.
122
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130 Page 7

Gambar 1. Pengembangan Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi Manajemen Cooperative Farming Pemerintah Swasta
Berdasarkan konsep model “Coopera-tive Farming” pelaksanaan di lapang dilakukan secara bertahap, sebagai berikut. Penentuan Paket teknologi Spesifik Lokasi Paket teknologi introduksi bersifat spesifik lokasi meliputi pilihan varietas unggul, dosis pupuk, teknologi budidaya, dan penanganan pasca panen, didasarkan kesepakatan anggota kelompok tani dengan peneliti dan penyuluh. Tujuannya untuk memperoleh paket teknologi spesifik lokasi yang efisien dan akan diterapkan oleh anggota kelompok tani. Ketua kelompok tani yang juga menjadi manajer berperan mengkoordinasi pengambilan keputusan, sedangkan pemerintah memberi masukan teknologi spesifik lokasi yang efisien.
Konsolidasi Manajemen Pengadaan Saprodi dan Modal Pengadaan peralatan pengolahan tanah, benih, pupuk dan pestisida serta modal usaha dilakukan secara korporasi. Pengadaan sarana produksi didasarkan dari hasil kesepakatan di dalam penentuan paket teknologi spesifik lokasi. Pemerintah diharapkan membantu menye-
diakan kredit berupa alsintan, sarana produksi dan modal kerja.
Konsolidasi Pelaksanaan Usaha Pengelolaan usaha dilaksanakan oleh anggota kelompok tani dengan mengacu pada teknologi yang telah disepakati bersama. Ketua kelompok tani bertugas mengatur waktu tanam dan pengawasan dalam pelaksanaan kesepakatan usaha. Pengaturan air irigasi dikembangkan Manajemen Parsial Berdasarkan Teknologi Kesepakatan
- On-farm (+ 100 ha)
-
Off-farm
Manajemen Korporasi
- Pengolahan hasil
- Pemasaran
Manajemen Korporasi
- Permodalan
- Saprodi
-
Sarana mekanisasi Petani Pengelola Pengumpulan dan penjualan hasil Dukungan saprodi dan pelayanan mekanisasi Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono) melalui HIPA, sedangkan PHT dilakukan oleh tenaga yang telah dilatih.
Konsolidasi Pasca Panen Pengelolaan pasca panen dalamusahatani dilaksanakan secara korporasi oleh regu panen dengan memanfaatkan mesin. Hal ini dapat dilakukan mengingat bahwa sebagian besar petani dalam panen menggunakan sistem upah berdasarkan satuan hasil. Agar tidak menghilangkan lapangan pekerjaan bagi buruh panen, maka manajer atau ketua kelompok tani sebaiknya mengkoordinir buruh tersebut menjadi regu panen dengan memanfaatkan mesin pertanian (power thresser, dll). Agar usaha ini berhasil, diharapkan pemerintah dapat membantu peralatan tersebut.
Konsolidasi Pemasaran Pemasaran dilakukan secara korporasi. Manajer bertugas mencari kerjasama dalam pemasaran hasil. Anggota kelompok tani menerima sisa hasil setelah dikurangi pinjaman baik dalam bentuk biaya pengolahan tanah, saprodi, panen dan lain sebagainya. Pemerintah diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator dalam pemasaran hasil. Proses penerapan konsep model Cooperative Farming di lapang disajikan pada Tabel 5. Konsep Cooperative Farming tersebut kemudian disosialisasikan di tingkat kecamatan kepada kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur. Hasil kesepakatan model Cooperative Farming spesifik lokasi tertuang seperti pada Tabel 6.
Tabel 5. Tahapan Penerapan “ Cooperative Farming “ Spesifik Lokasi
Tahapan
Peran Manager/
ketua kelompok
Peran Petani Anggota
Peran Pemerintah
I. Diagnostik Potensi Wilayah (PRA-SWOT)
II. Konsolidasi Teknologi Spesifik Lokasi (Top-Down dan Bottom-up)
III. Konsolidasi Manajemen Pengadaan Saprodi
IV. Konsolidasi Manajemen Produksi
V. Konsolidasi Pasca Panen
VI. Konsolidasi Manajemen Pemasaran Mengkoordinasi untuk menentukan strategi usaha on-farm dan off-farm
Mengkoordinasi untuk memperoleh kesepakatan teknologi usaha yang akan dilaksanakan. Seluruh kegiatan dilaksanakan secara korporasi berdasarkan hasil kesepakatan. Pengawasan dalam penerapan teknologi kesepakatan. Pengaturan waktu tanam, pengairan,dan PHT dilaksanakan secara korporasi. Seluruh kegiatan pemasaran dilaksanakan secara korporasi. Seluruh kegiatan pemasaran dilaksanakan secara korporasi. Partisipasi aktif dalamperencanaan usaha on-farmdan off-farm.
Partisipasi aktif untuk memperoleh kesepakatan teknologi yang akan digunakan Membayar kredit jasa alsintan,saprodi sesuai hasil kesepakatan kebutuhan teknologi. Menerapkan teknologi kesepakatan. Ikut dalam penekanan kehilangan hasil,membayar jasa panen Menerima hasil dan mngembalikan kredit. Sebagai asilitator dankatalisator dalamperencanaan dan strategi usaha.
Masukan teknologi top-down) spesifik lokasi yang efisien Membantu permodalan, memperlancar pengadaan saprodi dan alsintan. Fasilitator dan katalisator dalam penerapan teknologi Membantu peralatan panen dan pengolahan hasil. Fasilitator dalam proses pemasaran hasil.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130
Tabel 6. Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi Berdasarkan Kesepakatan Komponen Pelaksanaan
I. Usahatani padi
1. Penentuan paket teknologi
2. Pengadaan sarana produksi
3. Pelaksanaan usahatani
a. Pengaturan waktu tanam
b. Pembuatan persemaian
c. Pengolahan tanah
d. Pengairan
e. Tanam
f. Pengendalian hama-penyakit
g. Pemeliharaan tanaman
h. Panen dan pasca panen
4. Pemasaran
5. Konsolidasi lahan
6. Penyerahan pengelolaan laan
II. Usaha jasa peralatan mesin, pengolahan tanah dan pakan
III. Usaha jasa simpan pinjamKesepakatan dari Top down dan Bottom Up Bersama berdasarkan teknologi kesepakatan
Bersama
Individu
Individu
Bersama
Individu
Bersama
Individu
Individu
Bersama
Tidak dilaksanakan
Tidak dilaksanakan
Bersama
Bersama

Keterangan : Pelaksanaan secara bersama dilakukan oleh manajer Keunggulan Model Cooperative Farming Dari hasil pertemuan anggota kelompok tani melalui PRA berdasarkan pengalaman petani dan permasalahan yang ada pada musim hujan 1999/2000 serta masukan teknologi dari peneliti dalam usahatani padi, telah disepakati paket teknologi yang akan diterapkan anggota kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur (Tabel 7).
Dari Tabel 7. tampak bahwa perbedaan antara teknologi kesepakatan dalam Coopera-tive Farming (MH 2000/2001) dengan teknologi yang diterapkan petani dalam bekerjasama dengan PT. Petro Kimia Gresik (MH 1999/ 2000) adalah pada klas benih, luas persemaian, umur bibit yang ditanam dan dosis pemupukan (khususnya penggunaan pupuk Phonska).
Dari hasil pengkajian menunjukkan, bah-wa semua anggota kelompok tani Sido Mukti dan Sido Makmur telah menerapkan paket teknologi kesepakatan, kecuali cara tanam jajar legowo yang hanya dicobakan sekitar 500 m2 pada setiap anggota kelompok. Dengan penerapan model Cooperative Farming, ternyata mampu menekan biaya produksi terutama penggunaan pupuk sebesar 15 persen, akan tetapi meningkatkan biaya benih 33 persen bila dibandingkan dengan model kerjasama pada lokasi yang sama musim tanam tahun sebelumnya (Tabel 8).
Apabila dibandingkan dengan teknologi petani di luar lokasi pengkajian pada musim tanam yang sama, penerapan model Cooperative Farming memerlukan biaya produksi lebih tinggi sekitar 9 persen. Meningkatnya biaya ini karena benih yang digunakan kualitasnya lebih tinggi dan tambahan pupuk kalium (menggunakan Phonska) untuk menerapkan pemupukan secara rasional berdasarkan kandungan P dan K dalam tanah. Di samping itu, umumnya petani di luar wilayah pengkajian dalam penerapan teknologi usahatani padi saat ini masih secara individu, sehingga teknologi yang diterapkan antara petani dalam kelompok tani masih bervariasi berdasarkan pengalamannya. Hal ini Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono)
Tabel 7. Penentuan Paket Teknologi Usahatani Padi yang Digunakan Anggota Kelompok Tani Sido Mukti dan Sido Makmur Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, MH 2000/2001
Komponen Pengalaman kelompok tani MH 1999/2000 Masukan Peneliti (Teknologi
Introduksi MH 2000/2001) Kesepakatan kelompok tani MH 2000/2001
Varietas
Luas persemaian
untuk tanam 1 ha
Umur bibit di
tanam (hari
setelah sebar)
Cara tanam
.Jumlah benih
Pemupukan
(kg/ha)
Pengendalian
hama-penyakit
IR-64 dan Way Apo Buru
klas ES/turunan
250 m
2
25 - 30
Tapin 20 cm X 20 cm
35 – 40 kg/ha
200 kg Urea + 100 kg
ZA+300 kg Phonska
Furadan 10 kg/ha
Way Apo Buru
klas SS
400 – 500 m
2
21
Jajar legowo
(20x40)x10 cm
40 kg/ha untuk tanam jajar
legowo.
30 kg/ha untuk tanam sistim
tugal (20 cm x 20 cm)
Berdasarkan status hara tanah
(145 kg N+ 27 kg P
2
O
5
+30 kg
K
2
O+24 kg SO
2
)
Pemantauan
Way Apo Buru klas SS
400 m
2
21
Tapin 20 cm x 20 cm
30 kg/ha. Sebagian
dengan jajar legowo
40 kg/ha
200 kg Urea+100 kg
ZA+250 kg Phonska
Furadan 10 kg/ha
ditunjukkan pada kelompok tani Marsudi Tani Desa Cangaan, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, dimana umumnya petani menggunakan bibit dari hasil panen sebelumnya, varietas beragam dan dosis pemupukan belum rasional (278 kg urea + 162 kg ZA + 130 kg SP-36/ha).
Selain itu dengan dilakukan pengadaan sarana produksi secara individual, berakibat harga yang diterima petani lebih mahal. Harga pupuk urea dan ZA yang harus dibayar petani sebesar Rp 1.150/kg dan Rp 980/kg, sedangkan anggota kelompok tani pelaksana model “Cooperative Farming” hanya membayar Rp 1.060/kg dan Rp 900/kg.
Dengan biaya produksi lebih rendah dan hasil gabah yang lebih tinggi, maka
penerapan model Cooperative Farming memberikan keuntungan lebih tinggi. Untuk mencapai titik impas membutuhkan produksi atau nilai produksi minimal lebih rendah sekitar 5,4 persen dibandingkan dengan menerapkan teknologi usahatani padi model kemitraan pada musim tanam sebelumnya (Tabel 9).
Apabila dibandingkan dengan penerapan teknologi petani disekitar wilayah pengkajian pada musim tanam yang sama, penerapan teknologi dalam model Cooperative Farming mampu meningkatkan keuntungan lebih tinggi dibandingkan kebutuhan biaya produksi dan untuk mencapai titik impas membutuhkan produksi minimal lebih rendah sekitar 15,1 persen. Walaupun terjadi penurunan harga gabah 5 persen, penerapan teknologi model Cooperative Farming masih membutuhkan produksi minimal untuk mencapai titik impas lebih rendah 6,5 persen dibandingkan penerapan teknologi kemitraan dan 16,7 persen lebih rendah dibandingkan penerapan teknologi petani.
Pemberdayaan petani melalui model Cooperative Farming mampu meningkatkan Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130

Tabel 8. Biaya Produksi Usahatani Padi pada Pengkajian Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, MH 2000/2001
Model Cooperative
Farming Spesifik Lokasi
(MH2000/2001)
Model kerjasama Petro
Kimia
(MH 1999/2000)
Model Teknologi Petani
(MH 2000/2001)
Komponen
Fisik (kg/lt/
HOK/ha)
Nilai
(Rp.000/ha)
Fisik
(kg/lt/
HOK/ha)
Nilai
(Rp.000/ha)
Fisik
(kg/lt/
HOK/ha)
Nilai
(Rp.000/ha)
I. Biaya Variabel
A. Sarana produksi
1. Benih (kg)
2. Pupuk (kg)
- Urea
- Za
- SP-36
- KCl
- Phonska
- PPC
3. Pestisida
B. Tenaga Kerja
1. Olah tanah
- Traktor
- Pria
2. Tanam+daud
- Pria
- Wanita
3. Pemupukan
- Pria
- Wanita
4. Menyiang
- Pria
- Wanita
5. Pengairan
- Pria
6. Pengendalian
- Pria
7. Panen
(Bawon)
II. Biaya Tetap
1. Sewa tanah (ha)
2. Bunga pinjaman
( %/ 4 bln)
III. Total biaya
-
40
200
100
-
-
250
2
11
1
12
14
35
6
-
17
9
-
4
-
-
6
3.123,4
96,0
212,0
90,0
-
-
487,5
26,0
143,0
210,0
144,0
168,0
210,0
72,0
-
204,0
54,0
60,0
48,0
898,9
1.777,4
1.500
277,4
4.900,8
-
36
205
130
-
-
300
2
11
1
12
14
31
6
-
17
9
-
4
-
-
-
6
-
3.176,8
72,0
217,3
117,0
-
-
600,0
26,0
143,0
210,0
144,0
168,0
186,0
72,0
-
204,0
54,0
60,0
48,0
855,5
1.780,6
1.500
280,6
4.957,4
-
40
278
162
130
-
-
-
4,3
1
12
12
42
3
12
-
54
-
4
-
-
-
6
-
2.749,5
80,0
319,7
158,8
191,8
-
-
-
56,0
210,0
144,0
144,0
252,0
36,0
72,0
-
324,0
60,0
48,0
653,2
1.755,0
1.500
255,0
4.504,5
daya saing hasil padi, dibandingkan model pemberdayaan melalui kemitraan dengan teknologi Top Down (khususnya dosis pemupukan). Ditinjau secara relatif peningkatan produktivitas dan keuntungan bersih, tampak bahwa peningkatan produktivitas mencapai 5,1 persen dan peningkatan keuntungan sebesar 21,4 persen dan memberikan keunggulan kompetitif sebesar 5,6 persen (Tabel 10).
Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono)
Tabel 9. Kelayakan Usahatani Padi pada Pengkajian Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, MH 2000/2001
Uraian
Model Cooperative
Farming Spesifik
Lokasi
Model kemitraan
dengan PT. Petro
Kimia gresik
Model Petani
Produksi (kg/ha)
Penerimaan (Rp.000,-/ha)
Keuntungan (Rp.000,-/ha)
Titik Impas
- produksi (kg/ha)
- nilai
(Rp.000,-/ha)
Titik Impas , bila harga hasil
Turun 5%
- produksi (kg/ha)
- nilai
(Rp.000,-/ha)
7.989
7.190,1
2.289,3
3.492
3.192,5
3.830
3.447
7.604
6.843,6
1.886,2
3.693
3.323,3
4.073
3.665,23
5.806
5.225,4
720,5
4.115
3.704
4.601
4.141,1
Keterangan : 1) Harga saprodi dan upah tenaga kerja dihitung harga MH 2000/2001
2) Harga gabah diperhitungkan sama (Rp 900,-/kg)
Tabel 10.
Nilai Daya Saing Padi pada Pengkajian Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, MH 2000/2001
Model CF Spesifik Lokasi Terhadap
Komponen Daya Saing Hasil
Model Kemitraan
Model Petani
Nisbah produktivitas (%)
Nisbah keuntungan bersih (%)
Nilai keuntungan kompetitif
a. Produksi minimal (kg)
b. Harga minimal (Rp)
5,13
21,37
7541
(94,39)
849,54
37,60
217,74
6246
(78,18)
703,63
Keterangan : Persentase terhadap produktivitas atas harga hasil dari teknologi
Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi Apabila dibandingkan penerapan teknologi petani di sekitar wilayah pengkajian, maka penerapan model Cooperative Farming mampu meningkatkan produktivitas padi sebesar 37,6 persen, keuntungan bersih 217,7 persen dan memberikan keunggulan kompetitif sebesar 7,8 persen. Dengan peningkatan keuntungan bersih lebih tinggi dibandingkan peningkatan produktivitas menunjukkan bahwa efisiensi usahatani padi melalui model Cooperative meningkat.
Sebenarnya daya saing hasil tersebut masih dapat ditingkatkan apabila anggota kelompok tani bersedia merasionalisasi penggunaan pupuk, khususnya pupuk fosfor dan kalium.Dari hasil analisis tanah, kandungan hara fosfor paling tinggi dan kalium tergolong sedang (Tabel 2). Sedangkan dari acuan rekomendasi berdasarkan kandungan hara tanah, pemupukan rasional di daerah pengkajian adalah 145 kg N + 4 g SO4+ 27 kg P2O5+ 30 kg K2O/ha (Suwono et al., 1999). Akan tetapi kesepakatan Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130

dosis pupuk adalah Urea 200 kg + ZA 100 kg + 250 kg Phonska/ha atau setara 148,5 kg N + 24 kg SO4 + 37,5 kg P2O5+ 37,5 kg K2O/ha.
Komponen “Cooperative Farming” yang belum bisa dilaksanakan oleh kelompok tani adalah pemasaran hasil secara korporasi. Hal ini dikarenakan usahatani padi merupakan usahatani musiman, sehingga pada musim panen produksi melimpah, sedangkan kebutuhan konsumen relatif tetap. Menurut Simatupang dan Pasandaran (1995), pendekatan agribisnis hanya tepat dilaksanakan di wilayah pertanian dengan potensi marketable surplus yang besar. Akan tetapi kenyataannya hal ini tidak berkembang, karena tidak adanya pasar yang efisien. Dengan demikian, untuk usahatani bersifat subsisten yang secara umum ditemukan pada petani tanaman pangan, pelaksanaan pemasaran secara korporasi tidak banyak berarti bagi upaya peningkatan pendapatan petani.
KESIMPULAN

1. Pemberdayaan petani melalui model “Cor-porate Farming” belum dapat diterima petani, terutama penyerahan pengelolaan lahan dan konsolidasi lahan. Sekitar 60 persen petani tidak bersedia lahan usahanya dikelola dalam satu manajemen dan petani sebagai pemegang saham.
2. Pemberdayaan petani yang sesuai dan dapat diterima petani adalah model “Cooperative Farming”, yaitu pengelolaan usahatani oleh petani dengan penerapan teknologi berdasarkan kesepakatan kelompok, pengadaan sarana produksi dan pemasaran secara korporasi.
3. Pengadaan sarana produksi secara korporasi dalam model Cooperative Farming dapat menurunkan harga sarana produksi benih dan pupuk. Akan tetapi total biaya produksi yang dibutuhkan meningkat, khususnya biaya benih dan pupuk.
4. Penerapan model “Cooperative Farming” dapat menurunkan produktivitas minimal
untuk mencapai titik impas 5 – 15 persen dan mampu meningkatkan daya saing hasil padi, karena dapat meningkatkan produktivitas 5 – 37 persen, meningkatkan keuntungan bersih 14 – 64 persen dan keunggulan kompetitif lebih tinggi 7 – 22 persen.
5. Daya saing hasil padi masih dapat ditingkatkan, apabila petani bersedia merasionalisasi penggunaan pupuk Fosfor dan Kalium berdasarkan status hara tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Coulter, J.A. Goodland dan A. Fallontire. 1999. Marrying Farmer Cooperation and ContractFarming for Service in a Liberalising Sub-Saharan Africa. Overseas Development Institute. Partland House Stag Place, London.
Anonimous. 1989. Laporan Tahunan 1989. Dinas Pertanian Tanaman Pagan Daerah Propinsi Jawa Timur. 1989. Surabaya.
Anonimous. 2000. Laporan Evaluasi Pelaksana-an Program/Proyek Tahun Anggaran 1999/2000. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. Surabaya.
Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1987. Agri-business Management. Second Edition. Mc Graw Hill, Inc.
Kasijadi, F. 2000. “Cooperative Farming” sebagai model optimalisasi pemanfaatan pertanian lahan sawah di Jawa Timur. Bahan Diskusi Panel di BPTP Karangploso, 27 Juli 2000
Kasijadi, F. Suwono, S.R. Sumarsono dan Roesmiyanto. 2001. Upaya meningkatkan daya saing hasil palagung di lahan sawah melalui model “Cooperative Farming”.
Makalah Disampaikan pada Apresiasi Teknologi di Balitbangda Pro-pinsi Jawa Timur. Surabaya, 13 Juni 2001.
Mamondon Bah, A. T. Hiratsuka dan Fatoumata Bah. 1997. Management system of guinea’s cooperative farming organization and its economic and social harits. Journal of Rural Problem Conference. Paper No. 5. Simatupang, P. dan E. Pasandaran. 1995.
Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming di Jawa Timur (F. Kasijadi, A. Suryadi dan Suwono)
Perspektif pengentasan kemiskinan dengan pendekatan agribisnis. Prosiding Simpo-sium Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Bogor.
Suwono, H. Sembiring, D.P. Saraswati, F. Kasijadi; dan Suyamto, 1999. Acuan Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi untuk Padi Sawah di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso, Malang.
Suwono, W. Istuti, H. Sembiring dan F. Kasijadi. 2000. Paket teknologi budidaya padispesifik lokasi di Jawa Timur. Dalam F.
Kasijadi et al. (Eds.) Prosiding Rakitan Teknologi Budidaya Padi, Jagung dan Kedelai Spesifik Lokasi Mendukung GemaPalagung di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso, Malang.
Suyamto dan F. Kasijadi. 2000. Konsolidasi sumberdaya dalam sistem usaha pertanian menghadapi otonomi daerah dan pasar bebas. Makalah Seminar Nasional Arah Kebijakan Sektor Pertanian Dalam Menun-jang Otonomi Daerah dan Memenangkan Persaingan Era Pasar Bebas. Surabaya, 12 Pebruari 2000.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 2, Juli 2003 : 117-130



Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.rimbawan.com/APHI0611/KUMPULAN_TULISAN/2007/Mei_2007/KonsepPemberdayaanMasyAPHI_Draft1_RevBMW-HAK_11Mei07.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.Page 1

1

Konsep Teknologi

KONSEP TEKNOLOGI PERTANIAN
DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN
Sabtu, 06 Januari 2007

Sistem usaha pertanian modern yang lebih dikenal sebagai agribisnis merupakan suatu alternatif dalam perubahan usaha pertanian yang tradisional kearah pertanian yang bukan hanya mengelola lahan dengan memanfaatkan teknologi budidaya untuk mendapatkan produksi yang maksimal, akan tetapi sudah menyertakan pula masukan teknologi untuk mendapatkan produk olahan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seoptimal mungkin.
Sampai saat ini banyak usaha pertanian dengan berbagai skala usaha masih terlalu mengeksploitasi lahan untuk tujuan komersil sehingga lahan yang sebelumnya cukup baik menjadi lahan yang marjinal. Hal ini tentu tidak boleh terjadi terus menerus karena lahan pertanian akan terdegradasi secara berangsur-angsur yang berarti kita akan meninggalkan lahan bermasalah untuk generasi masa datang. Apalagi dalam kerangka ekonomi kerakyatan segala usaha termasuk dalammya usaha pertanian haruslah mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya yang dimiliki. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan pemahaman sumberdaya petani tentang teknologi di bidang pertanian sehingga pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan baik.
Di Provinsi Riau, sumberdaya ekonomi yang siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumberdaya pertanian yang terdiri dari sumberdaya alam (lahan, air, sumber keragaman hayati dan agroklimat), sumberdaya manusia yang bekerja di sektor agribisnis, teknologi pertanian dan lain-lain. Walaupun tenaga kerja yang terserap di sektor Pertanian dan sektor terkait cukup besar yaitu mendekati angka 50% dari total tenaga kerja di Daerah Riau, tetapi sumbangan sektor pertanian ini hanya kurang dari 19 % terhadap PDRB daerah Riau (BPS, 2001). Hal ini disebabkab berbagai kendala antara lain teknologi spesifik yang terbatas, pembinaan pasar kurang baik dan adanya persaingan dari produk sejenis.
Aplikasi teknologi di sektor pertanian mempunyai kendala yang cukup beragam mulai dari rendahnya tingkat pendidikan sebahagian besar petani dan pelaku agribisnis sampai kepada teknologi lokalita yang kurang tersedia. Kedaan ini lebih diperburuk lagi oleh keterbatasan modal sehingga petani tidak sepenuhnya dapat membeli dan memanfaatkan teknologi yang sudah ada. Usaha kearah perbaikan sebenarnya sudah mulai dilaksanakan melalui berbagai pembinaan yang masih bersifat parsial, sehingga belum dapat berhasil dengan baik. Komitmen yang tidak jelas serta koordinasi antar pihak terkait yang kurang berjalan sesuai dengan perencanaan dan kadang-kadang adanya saling ketidakpercayaan antar pihak merupakan salah satu sebab tidak berhasilnya peningkatan kecakapan petani dan pelaku agribisnis dalam memanfaatkan teknologi.
Terbatasnya teknologi yang tepat lokasi ini sangat berpengaruh kepada produktifitas komoditas pertanian pada umumnya, sehingga belum tercapai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan yang sebenarnya berpotensi untuk memberikan hasil yang lebih banyak. Rendahnya produktifitas lahan ini ditandai oleh besarnya senjang hasil yang diperoleh ditingkat petani dengan hasil di tingkat penelitian. Ada tiga komponen teknologi yang menyebabkan rendahnya produktifitas yaitu aplikasi teknologi budidaya yang masih rendah, penggunaan varitas yang kurang sesuai dengan kondisi lokalita, serta masih besarnya kehilangan hasil setelah panen. Rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya kecakapan petani merupakan penyebab rendahnya penerapan teknologi oleh petani tersebut. Sedangkan terbatasnya teknologi berupa varitas lokalita dan besarnya kehilangan saat panen dan pasca panen merupakan indikator masih lemahnya pembinaan kepada petani serta minimmya peran daerah dalam menghasilkan teknologi. Oleh sebab itu pengembangan sumberdaya di sektor pertanian sangat perlu untuk dilaksanakan karena kedepan sektor ini masih menjadi salah satu andalan ekonomi daerah Riau yang cukup penting.
Minimal ada tiga alasan pokok untuk mengembangkan teknologi bagi pelaku usaha pertanian sebagai pemikul beban untuk peningkatan produksi, penyerap dan penyedia lapangan kerja dan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Sektor ini harus pula siap menghadapi tantangan global yang untuk Riau sangat terbuka dengan posisi yang berdekatan dengan negara penghasil bahan pertanian terkemuka di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Tantangan yang dihadapi sektor pertanian tersebut meliputi berbagai hal. Pertama, kesenjangan yang cukup lebar antara hasil di tingkat petani dengan hasil di tingkat penelitian. Ini terjadi pada sebahagian besar tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan.
Kedua, ketersediaan teknologi spesifik lokasi yang sesuai dengan agroecosystem, sosial ekonomi dan budaya tempatan terbatas. Ketiga, penyediaan varitas dan benih berkualitas dengan harga yang terjangkau masih terkendala. Keempat, kemampuan produk andalan untuk bersaing secara global masih sangat lemah. Kelima, efisiensi penggunaan sarana produksi (Saprodi) tidak dapat meningkatkan pendapatan petani.
Hal ini karena harga Saprodi selalu meningkat sehingga perlu dikembangkan pendekatan budidaya dengan input rendah yang dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Untuk mendukung pengembangan agribisnis seutuhnya di Riau maka masa yang akan datang diperlukan usaha pengembangan teknologi pertanian secara terus menerus. Disamping pengembangan teknologi untuk proses produksi tanaman pertanian juga harus diikuti dengan inovasi produk dan proses produksi industri pertanian baik teknologi yang akan dimanfaatkan oleh sektor publik atau teknologi untuk rakyat banyak. Berikut adalah beberapa alternatif teknologi yang pantas dikembangkan di Riau dalam rangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Diversifikasi komoditas
Dari berbagai pengalaman ternyata usahatani dengan mengandalkan monokultur kurang menguntungkan kepada petani apalagi cara ini sering membutuhkan input tinggi, bahkan kadang-kadang cenderung dapat mempunyai dampak yang kurang baik. Diversifikasi komoditas dalam usahatani yang meliputi tanaman pertanian baik tanaman tahunan maupun tanaman muda dengan hewan ternak bahkan dengan ikan dapat menjadi andalan dalam usahatani masa depan. Pertama, karena komoditas yang satu dapat memanfaatkan hasil samping dari komoditas lain seperti kotoran ayam atau sapi yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman atau tambahan makanan ikan sebaliknya bahagian tanaman tertentu juga dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak. Kedua, dengan diversifikasi komoditas akan mengurangi resiko kegagalan usaha atau terdapatnya saling subsidi keuntungan jika salah satu komoditas harganya kurang baik. Ketiga, akan dapat menjaga kelestarian lingkungan, menjaga kemungkinan serangan penyakit malaria.
Diversifikasi produk olahan dari satu jenis hasil pertanian perlu dikembangkan kepada petani. Namun hal ini harus diikuti dengan pembinaan pasar dari produk baru tersebut agar menjadi produk yang dapat dipasarkan dengan mudah. Pada saat ini tanaman nenas misalnya dapat dipasarkan sebagai nenas segar atau diolah menjadi keripik nenas, dodol nenas atau jus nenas yang semuanya dapat dilakukan pada skala kecil oleh petani atau pengrajin. Dibalik itu kulit nenas yang biasanya akan menjadi limbah saat ini dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan miniman yang disebut Nata De Pina yang pembuatannya sangat mudah ditiru oleh petani.

Teknologi Pertanian dengan lingkungan dimodifikasi
Salah satu trend dalam usaha pertanian masa depan adalah pertanian rumah kaca (Greenhouse farming) dan pertanian rumah kasa (Screenhouse farming). Teknologi seperti ini selain merupakan upaya untuk melestarikan lingkungan juga dapat menghasilkan tanaman dengan kualitas dan kuantitas yang lebih tinggi dan hasilnya mencapai delapan sampai sepuluh kali dibanding dilapangan terbuka. Tanaman tomat cheri yang ditanam di rumah kaca di Palestina dan Israel dapat menghasilkan 400 ton sekali tanam sedangkan jika ditanam di tempat terbuka hanya 15 sampai 20 ton per hektarnya. Awalnya penggunaan rumah kaca lebih banyak di negara temperate zone yang mempunyai empat musim agar dapat bertanam pada musim dingin.
Dalam rumah kaca ini tanaman yang populer ditanam adalah sayur-sayuran dan ditanam di tanah atau bisa juga dalam air sebagai hidroponik. Tapi saat ini sistem pertanian rumah kaca sudah berkembang di berbagai negara lain seperti di Israel dan negara timur tengah lainnya. Pada saat ini sistem pertanian rumah kaca ini sudah mulai diintrodusir ke Indonesia. Minimal di tiga daerah seperti Sumatera Utara, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat telah digunakan sistem pertanian rumah kaca dengan hasil yang sangat menakjubkan malah tanaman bisa hidup lebih panjang. Teknologi ini juga sangat berpotensi dikembangkan di Riau karena lokasi wilayah Riau yang berada dekat dengan pasar produk pertanian bermutu tinggi yang hanya mungkin dihasilkan dari rumah kaca.
Penggunaan teknologi pertanian dengan rumah kasa juga sudah banyak berkembang dan dapat menghasilkan produk pertanian yang bebas hama tanpa menggunakan pestisida. Tanaman yang biasa diusahakan dalam rumah kasa adalah sayur-sayuran dan buah-buahan tertentu seperti tomat, ketimun dan strawberry. Malah teknik ini sudah diintrodusirkan oleh Singapura ke petani sayur di Pekanbaru untuk menghasilkan berbagai sayuran dengan kriteria tertentu seperti bebas pestisida, penggunaan bahan pupuk kimia yang minimal sehingga aman untuk dikonsumsi. Memang kedua sistem pertanian yang diuraikan ini sangat membutuhkan modal yang besar, akan tetapi secara komersial usaha pertanian ini sangat berpotensi untuk dikembangkan oleh perusahaan sawsta dengan modal yang cukup disamping dapat menyerap tenaga kerja yang relatif banyak.

Mengurangi senjang hasil untuk meningkatan produktifitas
Ada dua upaya yang dapat meningkatkan produktifitas pertanian, Pertama adalah mengurangi senjang hasil antara penelitian dengan hasil petani. Untuk tanaman padi saja masih terdapat perbedaan hasil yang dilaporkan oleh Litbang Pertanian dengan hasil yang didapatkan petani sekitar 2,5 sampai 4 ton per hektar dari varitas yang sama. Jika dibandingkan dengan berbagai Hibrida padi yang banyak didatangkan dari Luar negeri maka senjang hasil menjadi semakin besar bisa mencapai 4 sampai 5 ton per hektar sekali tanam. Untuk itu perlu dikurangi senjang hasil ini seminimal mungkin dengan jalan memperkenalkan dan membimbing petani menggunakan teknologi seperti yang dilaksanakan oleh peneliti.

Selanjutnya upaya yang kedua adalah meningkatkan indeks panen atau meningkatkan penanaman dari satu kali setahun menjadi dua atau tiga kali setahun. Upaya ini tentu memerlukan penyempurnaan sarana dan prasarana pertanian di lapangan seperti perbaikan sistem pengairan pada areal tertentu. Pencarian varitas-varitas baru yang cocok untuk kondisi lahan lokalita misalnya padi toleran air pengairan yang mengandung garam, varitas palawija tahan salin sehingga berpotensi ditanam di lahan pasang surut.

Reorientasi program Penelitian
Apapun bentuk teknologi baik yang sangat sederhana sampai yang sangat rumit selalu berasal dari hasil penelitian. Kegiatan penelitian dapat dilakukan oleh lembaga penelitian di perguruan tinggi, atau yang ada di instansi pertanian atau dapat pula dilakukan oleh perusahaan swasta. Seperti di daerah lainnya di Indonesia, di Propinsi Riau, masih banyak perusahaan-perusahaan swasta dengan alasan berbagai keterbatasan, enggan mengeluarkan dana untuk mengembangkan fasilitas untuk penelitian yang standard. Kebanyakan mereka mengandalkan teknologi yang sudah atau ada juga yang melakukan adopsi teknologi dari luar negeri setelah dilakukan percobaan untuk menyesuaikan dengan lingkungan usaha mereka.
Menghadapi era perdagangan bebas, dilain fihak, negara-negara maju (industri) selalu menggunakan isue-isue lingkungan, hak azasi manusia, demokrasi dan hak atas kekakayaan intelektual dalam memenangkan persaingan pasar produknya terhadap negara yang sedang berkembang. Oleh sebab itu kita di Riau sudah spatutnya mengambil inisiatif untuk melakukan reorientasi terhadap program penelitian di daerah. Dengan banyaknya perusahaan swasta, perguruan tinggi dengan berbagai fasilitas yang cukup dan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah jika berhimpun dapat membangun program penelitian yang standard dan fasilitas penelitian yang terakreditasi untuk menghasilkan teknologi pertanian yang handal. Ditunjang lagi dengan komitment Pemda untuk membangun Riau ke depan dengan menginvestasikan dana untuk kegiatan penelitian sebagai salah satu pilar pembangunan.

Penulis adalah Dekan Fakultas Pertanian Universitas Riau

Pemberdayaan Masyarakat

I. Pendahuluan
Sesuai dengan tujuan mata kuliah ini yaitu, untuk membahas konsep-konsep pembangunan yang bertumpu pada masyarakat sebagai jembatan antara pembangunan mikro dan makro, maka pada kesempatan ini bahasan pokok yang akan disampaikan adalah tentang pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development) Pertama-tama perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat kita, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.
Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik pada tingkat nasional kita sebut ketahanan nasional. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, dari sudut pandang kita pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi secara harafiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, di mana kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kebijaksanaan publik (public policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan iklim yang menunjang. Selanjutnya berturut-turut akan dibahas tujuan pembangunan, konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks perkembangan paradigma pembangunan, pendekatan, aspek kelembagaan beserta mekanismenya serta strategi dalam mewujudkannya. Bahasan ini akan ditutup dengan kajian beberapa kasus sebagai ilustrasi.
Makalah ini diangkat dari bahan kuliah pada Program Pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung (ITB), yaitu mata kuliah Pembangunan yang Bertumpu pada Masyarakat (SP 607).

II. Tujuan Pembangunan
GBHN 1993 menegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional dalam PJP II adalah membangun bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera. Untuk mencapainya, pertama-tama kita harus memajukan perekonomian seiring dengan kualitas sumber daya manusia. Taraf kemajuan perekonomian dapat diukur dari berbagai indikator, antara lain PDB dan PDB per kapita. Keseimbangan komposisi dalam struktur perekonomian mencerminkan pula kemajuan perekonomian. Perekonomian yang maju seringkali diartikan dengan perekonomian yang tidak terlalu bergantung pada sektor primer, dalam hal ini pertanian dan pertambangan. Perekonomian yang maju lebih didominasi oleh peranan sektor industri manufaktur dan jasa. Keseimbangan struktur ekonomi juga
harus tercermin dalam penyerapan tenaga kerja. Umumnya komposisi tenaga kerja menurut sektor mengikuti keadaan struktur ekonominya. Kemajuan ekonomi juga dapat dicerminkan dari tingkat ketergantungan sumber daya pembangunan di mana ketergantungan pada sumber daya pembangunan dari luar negeri makin mengecil. Di samping semua hal tersebut, perekonomian yang maju juga ditandai dengan makin membaiknya distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan ini mencakup distribusi pendapatan antardaerah, antargolongan dan antara kota dan desa.
Tujuan pembangunan nasional yang kedua adalah membangun bangsa yang mandiri. Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai suatu bangsa sehingga bangsa itu dapat membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berlandaskan kekuatannya sendiri. Ini berarti untuk membangun bangsa yang mandiri dibutuhkan perekonomian yang mapan. Kemandirian juga tercermin pada kemampuan bangsa untuk memenuhi sendiri kebutuhan yang paling pokok. Tujuan yang ketiga adalah membentuk masyarakat yang sejahtera. Masyarakat yang sejahtera pada taraf awal pembangunan adalah suatu masyarakat yang kebutuhan pokoknya terpenuhi. Kebutuhan pokok itu mencakup pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.
Namun hal itu saja tidak cukup, karena masyarakat yang sejahtera harus pula berkeadilan. Dengan makin majunya taraf kehidupan masyarakat, maka masyarakat yang sejahtera akan menikmati kemajuan hidup secara berkeadilan. Keseluruhan upaya itu harus membangun kemampuan dan kesempatan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan sehingga masyarakat bukan hanya sebagai objek tetapi juga subjek pembangunan. Upaya membangun kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan itu harus dicapai pula dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

III.Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks Perkembangan Paradigma Pembangunan.
1.Konsep-konsep Pembangunan
Sebelum kita membahas hal-hal pokok mengenai konsep pemberdayaan, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu konsep pembangunan yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam arti yang luas. Pembangunan menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi.
Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke-18. Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skala ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith muncul pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917). Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital).
Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang.
Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.
Berbeda dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan kepada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan kepada peranan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.
Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan
pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris, antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976).
Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan aktivitas R & D. Mengenai peran perdagangan dalam pertumbuhan, Nurkse (1953) menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembangan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negara yang tersebut di atas. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional.
Kemudian kita lihat bahwa kemajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh perdagangan internasional.
Dalam kelompok teori pertumbuhan ini ada pandangan yang penting yang dianut oleh banyak pemikir pembangunan, yaitu teori mengenai tahapan pertumbuhan. Dua di antaranya yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembangunan yang dilalui oleh semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya; yaitu tahap Traditional Society, Preconditions for Growth, The Take-off, The Drive to Maturity, dan The Age of High Mass Consumption.
Menurut pemikiran H.B. Chenery dan M. Syrquin (1975), yang merupakan pengembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.
Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan terutama di bidang ekonomi memang mengalir makin deras ke arah manusia (dan dalam konteks plural ke arah masyarakat atau rakyat) sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan (subjek dan objek sekaligus). Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa (1940-1970) menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati cucuran hasil pembangunan seperti yang diharapkan itu. Bahkan di banyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged), sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kayadan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.
Cara pandang di atas mendominasi pemikiran-pemikiran pembangunan (mainstream economics) dekade 50-an dan 60-an dengan ciri utamanya bahwa pembangunan adalah suatu upaya terencana untuk mengejar pertumbuhan ekonomi agregat. Dan, harus pula disadari bahwa pemikiran semacam ini masih banyak pengikut dan pendukungnya sampai saat ini walaupun bukti-bukti empiris dan uji teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak pernah terwujud khususnya di negara-negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan. Maka berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size distribution of income) dapat diukur dengan menggunakan kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain distribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara.
Berbeda dengan distribusi pendapatan yang menggunakan konsep relatif, analisis mengenai tingkat kemiskinan menggunakan konsep absolut atau kemiskinan absolut. Meskipun pembangunan harus berkeadilan, disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya untuk memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenery, et.al., 1974).
Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan produsen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan. Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic human needs (BHN) (Streeten et al., 1981). Strategi BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasar bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan perumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuan yang sama, keduanya berbeda dalam hal kebijaksanaan yang diambil. RWG menekankan pada peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public services disertai jaminan kepada masyarakat miskin agar dapat memperoleh pelayanan tersebut.
Masalah pengangguran juga makin mendapat perhatian dalam rangka pembangunan ekonomi yang menghendaki adanya pemerataan. Todaro (1985) mengemukakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara pengangguran, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Pada umumnya mereka yang tidak dapat memperoleh pekerjaan secara teratur adalah mereka yang termasuk dalam kelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperoleh pekerjaan secara terus-menerus adalah mereka yang berpendapatan menengah dan tinggi. Dengan demikian, memecahkan masalah pengangguran dapat memecahkan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Beberapa ahli berpendapat pula bahwa pemerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini barang-barang yang dikonsumsikan oleh masyarakat miskincenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibandingkan dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi.
Dengan demikian, pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja. Dalam rangka perkembangan teori ekonomi politik dan pembangunan perlu dicatat pula bahwa aspek ideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang berkembang. Salah satu di antaranya adalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutama berdasarkan keadaan pembangunan di Amerika Latin pada tahun 1950-an.
Ciri utama dari teori ini adalah bahwa analisisnya didasarkan pada adanya interaksi antara struktur internal dan eksternal dalam suatu sistem. Menurut teori ini (Baran, 1957), keterbelakangan negara-negara Amerika Latin terjadi pada saat masyarakat prakapitalis tergabung ke dalam sistem ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan menjadi daerah "pinggiran" (periphery) negara metropolitan yang kapitalis. Daerah (negara) pinggiran dijadikan "daerah-daerah jajahan" negara-negara metropolitan. Mereka hanya berfungsisebagai produsenbahan mentah bagi kebutuhan industri daerah (negara) metropolitan tersebut, dan sebaliknya merupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan industri-industri di negara-negara metropolitan tersebut. Dengan demikian, timbul struktur ketergantungan yang merupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi serta merintangi pula pembangunan yangmandiri.
Patut dicatat adanya dua aliran dalam teori ketergantungan, yaitu aliran Marxis dan Neo-Marxis, serta aliran non-Marxis. Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangka analisis dari teori Marxis tentang imperialisme. Aliran ini tidak membedakan secara tajam mana yang termasuk struktur internal ataupun struktur eksternal, karena kedua struktur tersebut, dipandang sebagai faktor yang berasal dari sistem kapitalis dunia itu sendiri. Selain itu, aliran ini mengambil perspektif perjuangan kelas internasional antara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihak dan kaum buruh di lain pihak. Untuk memperbaiki nasib buruh, maka perlu mengambil prakarsa dengan menumbangkan kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, resep pembangunan untuk daerah pinggiran adalah revolusi (Frank, 1967). Sedangkan aliran kedua, melihat masalah
ketergantungan dari perspektif nasional atau regional. Menurut aliran ini struktur dan kondisi internal pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal dari sistem itu sendiri, meskipun struktur internal
ini pada masa lampau atau sekarang dipengaruhi oleh faktor-faktor luar negeri (lihat misalnya Dos
Santos dan Bernstein, 1969; Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982). Oleh karena itu, subjek yang perlu dibangun adalah "bangsa" atau "rakyat" dalam suatu negara (nation building).
Dalam menghadapi tantangan pembangunan maka konsep negara atau bangsa ini perlu dijadikan landasan untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi pembicaraan pula dalam kajian-kajian pembangunan (antara lain lihat Bauzon, 1992). Goulet, (1977) yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya, mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat.
Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan kearah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pascaindustri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan dan kelestarian pembangunan itu sendiri (Korten, 1984). Logika yang dominan dari paradigma ini adalah suatu ekologi manusia yang seimbang, dengan sumber-sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habis-habisnya, dan yang tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.
Paradigma yang terakhir, yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial dan berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahas terdahulu, adalah paradigma pembangunan manusia. Menurut pendekatan ini, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya.
Pengalaman- pengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya sendiri. Menurut pandangan ini tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1985). Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas;
(2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia.
Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP, yang mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini merupakan indikator komposit/ gabungan yang terdiri dari 3 ukuran, yaitu kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge) dan tingkat pendapatan riil (sebagai ukuran living standards). Masih dalam taraf pengembangan sekarang muncul pula gagasan pembangunan yang berkelanjutan yang erat kaitannya dengan kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi ke generasi -- jaminan pemerataan pembangunan antargenerasi --. Dalam konsep ini pemakaian dan hasil penggunaan sumber daya alam dan lingkungan yang merusak sumbernya tidak dihitung sebagai konstribusi terhadap pertumbuhan tetapi sebagai pengurangan aseet. Penting kita perhatikan hal ini, karena bangsa yang kaya hari ini, bisa menjadi paling miskin di hari kemudian, seperti bangsa Mesir, Palestina, dan India.
Demikianlah, berbagai aliran pemikiran dalam studi pembangunan, yang berkembang selama ini. Meskipun belum memuaskan beberapa pihak, konsep pembangunan manusia dapat dianggap paling lengkap dan dikatakan sebagai sudah merupakan sintesa dari pendekatan-pendekatan sebelumnya. Sebenarnya pandangan serupa ini telah kita mulai sejak awal pembangunan. Oleh karena itu, sejak GBHN Pertama dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I), kita telah merumuskan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Sejak Repelita II, kita telah menegaskan strategi pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, sebagai kunci-kunci keberhasilan pembangunan. Program pemerataan dalam rangka Trilogi ini dalam PJP I kita jabarkan dalam delapan jalur pemerataan.

2.Masalah Kesenjangan
Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun telah banyak hasil dicapai dalam PJP I, masalah kesenjangan secara mendasar belum dapat kita pecahkan. Satu dari setiap tujuh orang Indonesia miskin sekali. Dari Sensus Penduduk tahun 1990 diketahui 3,2 persen angkatan kerja menganggur, sekitar 36,6 persen dari jumlah penduduk yang bekerja, bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau setengah menganggur, dan lebih dari 77 persen pekerja hanya berpendidikan sampai Sekolah Dasar. Lebih dari 97 persen unit usaha pada tahun 1992 beromzet kurang dari Rp 50 juta per tahun. Satu di antara dua (51,6 persen) rumah tangga petani adalah petani gurem, yang menguasai lahanpertanian kurang dari setengah hektar. Jumlah petani gurem ini bukannya berkurang, tetapi bahkan bertambah. Rakyat di daerah perdesaan dan di kawasan-kawasan tertinggal seperti di banyak bagian kawasan timur Indonesia dan juga di beberapa bagian kawasan barat, hidup di dunia lain, yang sangat terbelakang dan sangat jauh dari kehidupan modern. Dari sisi distribusi pendapatan masyarakat yang diukur dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga, nampak bahwa tingkat pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi meningkat lebih cepat dibanding kenaikan pendapatan kelompok penduduk berpendapatan rendah.
Data susenas menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk 40 persen penduduk terendah pendapatannya perbulan dalam periode 1984-1993 adalah 3,8 persen per tahun, sedangkan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga secara nasional selama kurun waktu yang sama meningkat 4,8 persen pertahun. Lebih lanjut data sistem neraca sosial ekonomi (SNSE) tahun 1980 dan 1990 menunjukkan tidak terjadi pergeseran yang berarti dalam persentase jumlah penduduk golongan atas dan golongan bawah. Persentase jumlah penduduk golongan atas tetap sekitar 42 persen dan jumlah penduduk golongan bawah sekitar 58 persen.
Apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk miskin, dengan garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran rata-rata per kapita per bulan sekitar Rp 13.300 di perdesaan dan Rp 20.600 di perkotaan pada tahun 1990, maka terdapat jumlah penduduk miskin sebanyak 27,2 juta (15,1 persen). Pada tahun 1993 dengan garis kemiskinan per kapita per bulan sekitar Rp 18.250 di perdesaan dan Rp 27.900 di perkotaan, jumlah penduduk miskin berkurang enjadi 25,9 juta jiwa (13,7 persen). Meskipun jumlah penduduk miskin terus menurun, namun masih cukup besar, karena satu dari setiap tujuh orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di samping itu, laju penurunannya semakin lambat, selama tiga tahun hanya terjadi penurunan sebanyak 1,3 juta, dan dari segi persentase turunnya hanya 1,4 persen.
Dengan membandingkan angka-angka itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, pertama, jumlah penduduk miskin berkurang; kedua, persentase penduduk golongan bawah dan golongan atas tidak banyak berubah; dan ketiga, tingkat pendapatan golongan penduduk miskin meningkat tetapi golongan penduduk berpendapatan tinggi naik lebih cepat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun pembangunan telah banyak menunjukkan keberhasilan, namun terdapat kesenjangan pendapatan antargolongan penduduk yang dirasakan makin melebar.
Masalah-masalah kesenjangan ini harus kita hadapi dalam PJP II. Padahal dalam PJP II kita sudah memasuki jaman dunia baru, yang berbeda dengan yang kita kenal selama ini. Jaman baru ini akan ditandai oleh keterbukaan dan persaingan, yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh golongan yang ekonominya lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin melebarnya kesenjangan. Iwan Jaya Azis, misalnya, dalam pidatopengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menunjukkan pula kerisauannya bahwa perdagangan bebas tidak harus akan bermanfaat terhadap perbaikan distribusi pendapatan (Azis, 1996). Padahal kita memikul tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai salah satu tujuan kita membuat negara yang merdeka.
Kalau UUD 1945 dibaca dengan baik, dipahami sejarah penyusunannya, serta dipelajari latar belakang pemikiran para penyusunnya, jelas bahwa republik ini disusun berdasarkan semangat kerakyatan. Dalam bidang ekonomi tegas diamanatkan Demokrasi Ekonomi. Demokrasi Ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Dengan lebih tegas lagi, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau dengan rumusan UUD 45: "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang". Kemajuan yang ingin diupayakan melalui pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi, haruslah meningkatkan kemakmuran atas dasar keadilan sosial, atau menurut kata-kata UUD 45: "kemakmuran bagi semua orang!"
Arah perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh konstitusi itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Masalah utamanya, seperti telah ditunjukkan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Dengan proses pembangunan yang terus berlanjut, justru ketidakseimbangan itu dapat makin membesar yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan.
Dalam upaya mengatasi tantangan itu diletakkan strategi pemberdayaan masyarakat. Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,dengan kata lain, memberdayakannya.
Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya.
Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Jadi, partisipasi rakyat meningkatkan emansipasi rakyat.

3. Pemberdayaan Masyarakat: Memadukan pertumbuhan dan pemerataan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995).Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.
Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai "incompatible or antithetical". Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap "zero-sum game" dan "trade off". Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk
pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, sepertidikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), "the pattern of growth is just as important as the rate of growth". Yang dicari adalah seperti dikatakan Ranis, "the right kind of growth", yakni bukan yang vertikal menghasilkan "trickle-down", seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifathorizontal (horizontal flows), yakni "broadly based, employment intensive, and not compartmentalized" (Ranis, 1995).
Hasil pengkajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International Fund for Agriculture Development (IFAD) menunjukkan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasilkan masyarakat di lapisan bawah telah memberikan sumbangan pada pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan itudihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pula (Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya.Pengalaman Taiwan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalanberiringan. Taiwan adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah ditinjau dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rationya 0,30, termasuk yang terendah di dunia), tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi yang dapat dipeliharanya secara berkelanjutan Brautigam, 1995). Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.Sungguh penting di sini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedman (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in the decision-marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning”.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengandemikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.






IV. Pendekatan, Metodologi dan Ukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat.
1.Pendekatan-pendekatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yangmenghasilkan. Teori-teori ekonomi makro, yang umumnya bersandar pada peran pasar dalam alokasi sumber daya, serta dengan praanggapan bahwa kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat akan menguntungkan semua lapisan masyarakat, dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawaban yang memuaskan bagi masalah kesenjangan.
Kekuatan sosial yang tidak berimbang, menyebabkan kegagalan pasar untuk mewujudkan harapan itu (Brown, 1995). Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada tingkat makro mendukung upaya mengatasi kesenjangan yang harus dilakukan dengan kegiatan yang bersifat mikro dan langsung ditujukan pada lapisan masyarakat terbawah. Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro.
Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri. Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, prasarana, dan sarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok.
Pertama, mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable); kedua, dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable); ketiga, memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable); keempat, hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat (sustainable); dan kelima, pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable).
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut:
Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasimasalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni supaya bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Karena itu seperti telah disinggung di muka, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-menerus di bina dan dipelihara secara sating menguntungkan dan memajukan.
Selanjutnya untuk kepentingan analisis, pemberdayaan masyarakat harus dapat dilihat baik dengan pendekatan komprehensif rasional maupun inkremental.
Dalam pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaan berjangka, serta pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik pemerintah maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Dengan demikian, programnyaharus bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan dampak yang berarti.
Dengan pendekatan yang kedua, perubahan yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan dalam derap yang sama. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap, langkah demi langkah, mungkin kemajuan-kemajuan kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor dengan sektor lainnya dapat berbeda percepatannya, demikian pula antara satu wilayah dengan wilayah lain, atau suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Dalam pendekatan ini, maka desentralisasi dalampengambilan keputusan dan pelaksanaan teramat penting. Tingkat pengambilan keputusan haruslah didekatkan sedekat mungkin kepada masyarakat.
Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh LSM adalah advokasi. Pendekatan advokasi pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika Serikat (Davidoff, 1965). Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan demikian, pendekatan advokasi menekankan pada pendamping dan kelompok masyarakat dan membantumereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku pembangunan lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan memobilisasi sumber daya yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut.
Pendekatan advokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-sendiri. Masyarakat pada dasarnya bersifat majemuk, di mana kekuasaan tidak terdistribusi secara merata dan akses keberbagai sumber daya tidak sama (Catanese and Snyder, 1986).
Kemajemukan atau pluralisme inilah yang perlu dipahami. Menurut paham ini kegagalan pemerintah sering terjadi karena memaksakan pemecahan masalah yang seragam kepada masyarakat yang realitanya terdiri dari kelompok-kelompok yang beragam. Ketidakpedulian terhadap heterogenitas masyarakat, mengakibatkan individu-individu tidak memiliki kemauan politik dan hanya segelintir elit yang terlibat dalam proses pembangunan.
Dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan advokasi masyarakat mampu secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses pembangunan, baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi. Seringkali pendekatan advokasi diartikan pulasebagai salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam proses pembangunan.

2. Metodologi Evaluatif dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pemahaman tentang masalah pemberdayaan masyarakat memerlukan sikap subyektif dalam penelitiannya. Subyektifitas ini bertolak dari sikap dasar, bahwa setiap penelitian tentang suatu masalah sosial selalu dilakukan untuk memperbaiki situasi sosial yang ada, untuk meluruskan ketimpangan yang ada. Dan, bukan hanya untuk sekedar melukiskan serta menerangkan kenyataan yang ada (Buchori, 1993). Tidak ada penelitian sosial yang akan dapat mendatangkan perbaikan terhadap kondisi sosial yang ada selama para peneliti menempatkan diri mereka sebagai pakar yang berdiri di luar kenyataan sosial yang diteliti, dan memperlakukan warga masyarakat yang sedang diteliti sebagai obyek yang hanya menjalani kenyataan sosial yang ada secara pasif.
Para peneliti harus menempatkan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat yang sedang diteliti dan memandang warga masyarakat yang sedang diteliti sebagai subyek yang mempunyai hak moral untuk mengatur kehidupan mereka, serta mempunyai keinginan dan kemampuan untuk berbuat demikian.
Dalam kerangka ini, menjadi kewajiban moral para peneliti untuk memahami aspirasi masyarakat yang diteliti, dan mendampingi secara mental dan intelektual warga masyarakat yang diteliti dalam usaha mereka untuk mendatangkan perbaikan yang mereka dambakan. Dengan demikian, dalam penelitian semacam ini masalah penelitian tidak dapat dipisahkan dari masalah evaluasi. Keputusan untuk meneliti suatu masyarakat dengan tujuan untuk mendatangkan perbaikan ke dalam masyarakat itu, melalui antara lain pemberdayaan masyarakat, sudah merupakan suatu hasil evaluasi.
Untuk melaksanakan evaluasi apakah proyek yang telah dilaksanakan selama jangka waktu tertentu telah sungguh mendatangkan perbaikan yang sesuai dengan harapan warga masyarakat, perlu dilakukan suatu penelitian. Dua metoda penelitian evaluatif yang bersifat bottom-up adalah rapid rural appraisal (RRA), dan participatory rural appraisal (PRA).
a. Metoda Rapid Rural Appraisal (RRA)
Metoda RRA digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat dalam waktu yang terbatas ketika keputusan tentang pembangunan perdesaan harus diambil segera. Dewasa ini banyak program pembangunan yang dilaksanakan sebelum adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di daerah sasaran. Konsekuensinya, banyak program pembangunan yang gagal atau tidak dapat diterima oleh kelompok sasaran meskipun program-program tersebut sudah direncanakan dan dipersiapkan secara matang, karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam penyusunan prioritas dan pemecahan masalahnya.
Pada dasarnya, metoda RRA merupakan proses belajar yang intensif untuk memahami kondisi perdesaan, dilakukan berulang-ulang, dan cepat. Untuk itu diperlukan cara kerja yang khas, seperti tim kerja kecil yang bersifat multidisiplin, menggunakan sejumlah metode, cara, dan pemilihan teknik yang khusus, untuk meningkatkan pengertian atau pemahaman terhadap kondisi perdesaan. Cara kerja tersebut dipusatkan pada pemahaman pada tingkat komunitas lokal yang digabungkan dengan pengetahuan ilmiah.Komunikasi dan kerjasama diantara masyarakat desa dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan (development agent) adalah sangat penting, dalam kerangka untuk memahami masalah-masalah di perdesaan. Di samping itu, metoda RRA juga berguna dalam memonitor kecenderungan perubahan-perubahan di perdesaan untuk mengurangi ketidakpastian yang terjadi di lapangan dan mengusulkan penyelesaian masalah yang memungkinkan.
Menurut James Beebe (1995), metoda RRA menyajikan pengamatan yang dipercepat yang dilakukan oleh dua atau lebih pengamat atau peneliti, biasanya dengan latar belakang akademis yang berbeda. Metoda ini bertujuan untuk menghasilkan pengamatan kualitatif bagi keperluan pembuat keputusan untuk menentukan perlu tidaknya penelitian tambahan dalam merencanakan danmelaksanakan kegiatan.
Metoda RRA memiliki tiga konsep dasar yaitu; (a) perspektif sistem, (b) triangulasi dari pengumpulan data, dan (c) pengumpulan data dan analisis secara berulang-ulang (iterative).
b.Metoda Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsepsi dasar pandangan PRA adalah pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA bertujuan menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan. Kritik PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program pembangunan selalu diturunkan "dari atas" (top down) dan masyarakat tinggal melaksanakan. Proses perencanaan
program tidak melalui suatu 'penjajagan kebutuhan' (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali dilaksanakan hanya berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh petugas atau lembaga ahli-ahli penelitian. Akibatnya program tersebut sering tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak adanya rasa memiliki terhadap program itu. Dengan PRA, yakni dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga keterampilan-keterampilan analitis dan perencanaan dapat dialihkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan pada pihak luar akan berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up).
Metoda PRA didasarkan pada penyempurnaan dan modifikasi dari metoda AEA (Agroecosystems Analysis) dan RRA (Rapid Rural Appraisal) yang dilakukan oleh kalangan LSM dan peneliti yang bekerja di wilayah Asia dan Afrika. Walaupun ada beberapa kesamaan antara metoda PRA dan RRA, tetapi ada perbedaan secara mendasar. Metoda RRA penekannya adalah pada kecepatannya (rapid) dan penggalian informasi oleh órang luar. Sedangkan etoda PRA penekannya adalah pada partisipasi dan pemberdayaan.
Menurut Robert Chambers (1987) PRA lebih cocok disebut sebagai metoda dan pendekatan-pendekatan jamak daripada metoda dan pendekatan tunggal, dan PRA adalah menu yang menyajikan daftar metoda dan teknik terbuka dan beragam.Dengan penekanannya pada partisipasi, maka metoda PRA mempunyai prinsip-prinsip: belajar dari masyarakat, orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku, saling belajar dan saling berbagi pengalaman, keterlibatan semua kelompok masyarakat, bebas dan informal,menghargai perbedaan dan triangulasi.
Metoda PRA dibangun berdasarkan (a) kemampuan- kemampuan masyarakat desa setempat, (b) penggunaan teknik-teknik fasilitatif dan partisipatoris, dan (c) pemberdayaan masyarakat desasetempat dalam prosesnya (Khan and Suryanata, 1994). Metoda PRA pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi4 (empat) macam proses, yaitu: (1) appraisal dan perencanaan secara partisipatoris, (2) pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program secara partisipatoris, (3) penyelidikan berbagai topik (seperti; manajemen sumber daya alam, keamanan pangan, kesehatan, dan lain-lain), (4) pelatihan dan orientasi untuk peneliti dan masyarakat desa.
Alat-alat yang digunakan dalam metoda PRA serupa dengan yang digunakan dalam metoda RRA, tetapi berbeda dalam tingkat partisipasi dari masyarakat desa dalam praktik di lapangan. Tidak seperti dalam RRA, masyarakat desa yang dilibatkan dalam PRA memainkan peran yang lebih besar dalam pengumpulan informasi, analisis data dan pengembangan intervensi seperti padaprogram-program pengembangan masyarakat yang didasarkan pada pengertian terhadap program secara keseluruhan. Proses ini akan memberdayakan masyarakat dan memberi kesempatan kepada mereka untuk melaksanakan kegiatan dalam memecahkan masalah mereka sendiri yang lebih baik dibanding dengan melalui intervensi dari luar.
3.Berbagai Ukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat.
Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan masyarakat telah berhasil, perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yang dapat diukur untuk dapat dibandingkan.Pemberdayaan masyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi, karena sasaran utamanya adalah memandirikan masyarakat, di mana peran ekonomi teramat penting. Caramengukurnya telah banyak berkembang, seperti yang antara lain telah disebut di atas indeks Gini, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan ndustri kecil, nilai tukar pertanian, upah minimum dan sebagainya.
Pembangunan manusia yang berkualitas bukan hanya menyangkut aspek konominya, tetapi juga sisi lainnya, yaitu pendidikan dan kesehatannya. Di bidang ini, juga telah banyak ukuran dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta aksara, angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, persentase penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu juga sedangdikembangkan oleh Bappenas bersama BPS semacam angka indeks kesejahteraan rakyat yang menggabungkan indikator ekonomi, kesehatan, dan pendidikan ke dalam suatu angka indeks. Di dunia internasional indeks kesejahteraan semacam ini telah dikembangkan oleh UNDP yang dikenal dengan nama Human Development Index (HDI) seperti telah dikemukakan di atas.Manusia juga harus mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi melalui pembangunan spiritual, sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat berakhlak. Terkait dengan itu adalah pembangunan budaya, yakni untuk menciptakan, di atas budaya yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, sikap budaya kerja keras, disiplin, kreatif, ingin maju, menghargai prestasi dan siap bersaing. Ukurannya tentu sangat relatif dan terutama bersifatkualitatif.
Dalam pembangunan budaya perlu dikembangkan orientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemberdayaan teknologi, merupakan jawaban yang berjangkauan jauh ke depan dan berkesinambungan dalam membangun masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera. Pemberdayaan masyarakat harus pula berarti membangkitkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang secara politik terisolasi bukanlah masyarakat yang berdaya, artinya tidak seluruh aspirasi dan potensinya tersalurkan. Maka, aspek politik juga terdapat dalam pemberdayaan masyarakat. Salah satu ukurannya, seperti indikator yang dikembangkan Dasgupta (1993), adalah hak berpolitik (mengikuti pemilu) dan hak sipil.

V.Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat
Seperti dikemukakan di atas, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam masyarakat. Beberapa aspek di antaranya dapat diketengahkan sebagai berikut:
Pertama, peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa upaya yang harus dilakukan:
1) Birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat.
2) Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Artinya, berilah sebanyak-banyaknya kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri.
3) Untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaiknya, baik pengetahuannya maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan rakyat membangun dengan kemandirian.
4) Birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan konsultasi ini amat perlu untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jikaada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat.
5) Birokrasi harus membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri.
6) Birokrasi harus menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah.
Untuk dapat menjalankan misinya, maka birokrasi harus (1) ditingkatkan kewenangannya sampai di lapisan terendah, (2) ditingkatkan kualitasnya, agar benar-benar mampu memberikan bimbingan dan pemberdayaan masyarakat. Terutama titik berat harus diberikan kepada aparat pada tingkat yang langsung berhadapan dengan masyarakat, baik secara hirarkis seperti aparat desa dan kecamatan, maupun fungsional seperti PPL, guru, dokter, dan bidan.
Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di sini yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), di samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan lokal. LSM dapatberfungsi sebagai pelaksana program pemerintah (mewakili pemerintah), dapat menjadi pembantu (konsultan) pemerintah, tetapi dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah. Sebaliknya LSM, sesuai dengan namanya, dapat pula mengembangkan programnya sendiri.
Dalam rangka ini, aparat setempat harus menjalin kerjasama erat dengan LSM, agar program LSM dapat bersinergi dengan program pemerintah, atau sekurang-kurangnya tidak terjadi kesimpangsiuran yang dapat mengakibatkan benturan yang hanya akan merugikan rakyat. LSM harus diperlakukan sebagai mitra pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Tentunya yang dimaksudkan di sini adalah LSM yang murni dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan politik yang hanya menggunakan rakyat sebagai alat politik.
Ketiga, lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan di dalam masyarakat itu sendiri, atau sering disebut sebagai local community organization. Lembaga ini dapat bersifat semi atau kuasi-formal seperti LKMD, PKK atau Karang Taruna, atau yang benar-benar tumbuh dari masyarakat sendiri seperti kelompok arisan, kelompok sinoman, kelompok paketan dan sebagainya.
Dalam rangka IDT, kelembagaan dalam masyarakat tersebut dikembangkan oleh masyarakat sendiri, sebagai bagian dari mekanismenya, yaitu kelompok-kelompok masyarakat (pokmas) yang terdiri dari atas 10 sampai 30 kepala keluarga. Kelompok-kelompok masyarakat serupa itu adalah paling efektif untuk upaya pemberdayaan masyarakat, oleh karena tumbuh dan berakar dari kalangan masyarakat sendiri. Secara sendiri-sendiri penduduk miskin sulit dapat mengatasi hambatan yang menyebabkan kemiskinannya. Secara bersama-sama, mereka dapat saling memperkuat dan saling menutupi kelemahan. Dinamika kelompok dan sinergi diharapkan dapat menghasilkan nilai dari upaya individual dalam kelompok.
Keempat, koperasi. Koperasi merupakan wadah ekonomi rakyat yang secara khusus dinyatakan dalam konstitusi sebagai bangun usaha yang paling sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia. Koperasi dapat merupakan wahana yang efektif bagi upaya pemberdayaan masyarakat, dengan membangun manusia modern namun dengan dasar-dasar kekeluargaan dan kegotongroyongan yang menjadi ciri demokrasi Indonesia.Koperasi harus menjadi sasaran bagi pengembangan kelompok masyarakat yang sudah dapat melampaui tahap awal kerjasama dan kerja bersama dalam kelompok. Formalisasi kelompok sebagai badan (entity) ekonomi harus diarahkan ke dalam bentuk koperasi. Namun, untuk itu kelompok dan anggota-anggotanya harus benar-benar dipersiapkan, agar bentuk koperasi dapat sungguh-sungguh menunjang upaya meningkatkan kegiatan usaha para anggota yang dilakukan secara bersama.
Kelima, pendamping. Penduduk miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, diperlukan pendamping untuk membimbing penduduk miskin dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pendamping bertugas menyertai prosespembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator.
Lingkup pembinaan yang dilakukan para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni kualitas para anggota dan pengurus kelompok serta peningkatan kemampuan usaha anggota. Untuk maksud tersebut, pendamping perlu mengenal dan mengadakan komunikasi yang intensif dengan kelompok. Pendamping yang paling efektif adalah dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu anggota masyarakat yang telah lebih sejahtera dan telah berhasil dalam kehidupan dan kegiatan ekonominya. Selain itu, seperti dalam program IDT dapat direkrut sarjana-sarjana untuk menjadi pendamping purna waktu, antara lain dari kalangan alumni penerima beasiswa Supersemar.
Selain itu, pendamping dapat diambil dari petugas lapangan pada tingkat kecamatan dan desa dari berbagai departemen dan lembaga kemasyarakatan, antara lain dari Departemen Dalam Negeri (Latihan Pembangunan Desa Terpadu atau LPDT), Departemen Pertanian (Penyuluh Pertanian Lapangan atau PPL dan Penyuluh Pertanian Spesialis atau PPS), Departemen Sosial (Petugas Sosial Kecamatan atau PSK dan Karang Taruna), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (Petugas Lapangan KB atau PLKB), Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Pemuda Pelopor), Departemen Tenaga Kerja (Tenaga Kerja Mandiri Profesional atau TKST), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan atau SP3), para dokter, bidan desa, guru, serta para petugas lainnya yang ada di desa dan hidup di tengah-tengah masyarakat desa. Disamping itu, secara swadaya dan sukarela perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya, seperti LSM, dapat pula ikut serta sebagai pendamping.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, pendamping harus siap bekerja setiap waktu, menghadiri pertemuan kelompok, mengorganisasikan program latihan, serta membantu kelompok dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.
Keenam, pemberdayaan masyarakat harus dicerminkan dalam proses perencanaan pembangunan nasional, sebagai aliran dari bawah ke atas. Dewasa ini upaya tersebut telah dilakukan mulai dari tingkat desa dengan musyawarah pembangunan desa (LKMD), forum diskusi UDKP di tingkat kecamatan, sampai ke Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat II, Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I, Rapat Konsultasi Regional Pembangunan, dan Rapat Konsultasi Nasional Pembangunan.
Mulai dari Dati II, kelembagaan perencanaan sudah cukup kuat, karena telah ada Bappeda. Di tingkat kecamatan telah ada pula pejabat teknis seperti PPL, mantri statistik, juru penerang, dokter puskesmas, yang dapat membantu kegiatan perencanaan meskipun pada taraf yang sederhana. Yang masih lemah dan harus diperkuat dalam proses perencanaan ini adalah kemampuan perencanaan pada tingkat desa. Upaya itu harus meliputi penyempurnaan kelembagaan desa, penguatan sumber daya manusia serta pengembangan budaya masyarakat desa yang tanggap pada perubahan atau dapat disebut pula modernisasi masyarakat desa.
Ketujuh, keikutsertaan masyarakat yang lebih mampu, khususnya dunia usaha dan swasta. Pemberdayaan masyarakat dapat lebih optimal jika terjadi keterkaitan dalam kemitraan usaha diantara yang telah mampu dengan yang masih tertinggal terutama melalui penyediaan modal usaha untuk pengembangan usaha penduduk miskin. Model seperti ini sedang dikembangkan melalui gerakan nasional tabungan keluarga sejahtera (Takesra) dan kredit usaha keluarga sejahtera (Kukesra). Dalam Takesra dan Kukesra, penduduk miskin yang termasuk dalam kategori keluarga prasejahtera dan sejahtera I mendapatkan bantuan suntikan tabungan dengan maksud untuk membiasakan menabung dan mengelola keuangan dengan baik. Bagi penduduk miskin yang telah mampu menabung dapat mengajukan bantuan modal berupa kredit Kukesra dengan menyampaikan rencana kegiatan produktif. Bantuan modal yang diberikan kepada penduduk miskin tersebut berasal dari masyarakat yang telah lebih mampu.
Upaya ini yang prakarsanya diambil oleh pemerintah dapat diperluas, dalam berbagai bentuk pola kemitraan langsung terutama antara usaha swasta dengan usaha ekonomi rakyat. Potensi dunia usaha dan masyarakat yang mampu untuk turut memberdayakan masyarakat cukup besar, dan perlu dikembangkan, karena selain penting artinya untuk memperkukuh perekonomian nasional, juga akan mempertebal persatuan dan kesatuan bangsa, karena kuatnya solidaritas sosial.

VI.Bias-bias Pemikiran tentang Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tenteram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pem-berdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.
Bias pertama adalah adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian.
Bias kedua adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.
Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia, dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.
Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang, di satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap perkembangannya ini. Di lain pihak, pendekatan pembangunan terlalu mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor.
Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga-lembaga masyarakat di lapisan bawah itu kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya. Bahkan justru terdapat kecenderungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
Bias keenam adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang iperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Initercermin pada reaksi pertama terhadap program Inpres Desa Tertingal (IDT) yang meragukan apakah tepat masyarakat miskin dipersilahkan memilih sendiri bagaimana memanfaatkan dana bantuan yang diperolehnya. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek dan bukan subjek pembangunan.
Bias ketujuh berkaitan dengan di atas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi.
Bias kedelapan adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
Bias kesembilan adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan perdesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan perdesaan dipandang tidak menguntungkan an
memiliki risiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil di perdesaan.
Bias kesepuluh berkaitan dengan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan PDB (di atas 30%, termasuk salah satu tingkat tertinggi di dunia), acapkali terasa tidak terimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar, dan sebagian cukup besar di antaranya untuk investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi makin cenderung terpusat di perkotaan, di sektor industri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukkan bahwa investasi di wilayah perdesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi kukuh.

VII. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka pengembangan Ekonomi Rakyat
Guna memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional diupayakan untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural adjustment atau structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian. Perubahan struktural serupa ini mensyaratkan langkah-langkah mendasar yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, serta pemberdayaan sumber daya manusia. Dengan memperhatikan berbagai pandangan termasuk bias-bias terhadap konsep pemberdayaan itu, beberapa langkah strategis harus ditempuh untuk mengembangkan ekonomi rakyat melalui pemberdayaannya.
Pertama, peningkatan akses ke dalam aset produksi (productive assets). Bagi masyarakat petani yang masih dominan dalam ekonomi rakyat, modal produktif yang utama adalah tanah. Karena itu kebijaksanaan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah sangat penting dalam melindungi dan memajukan ekonomi rakyat ini. Pemilikan tanah yang makin mengecil (marjinalisasi) harus dicegah. Persoalan ini tidak mudah, karena menyangkut budaya dan hukum waris. Namun, dalam rangka proses modernisasi budaya masyarakat, kebiasaan untuk membagi tanah semakin kecil sebagai warisan harus dihentikan. Untuk dapat melakukan hal itu memang harus ada alternatif, antara lain berupa pemanfaatan lahan secara lebih efisien (misalnya mixed farming,mixed landuses), penciptaan lapangan kerja perdesaan di luar pertanian (agroindustri dan jasa), program transmigrasi dan sebagainya. Dalam rangka ini upaya untuk memelihara dan meningkatkan produktivitas (dan dengan demikian nilai aset) lahan harus ditingkatkan, misalnya dengan pengairan, pemupukan, diversifikasi usaha tani, atau pemilihan jenis budi daya (untuk memperoleh nilai komersial yang tinggi). Di samping itu akses masyarakat kepada lingkungan hidup yang sehat yang tidak tercemar akan mengurangi beban dan menambah produktivitas masyarakat.
Masalah yang paling mendasar dalam rangka transformasi struktural ini ternyata adalah akses ke dalam dana. Tersedianya kredit yang memadai dapat menciptakan pembentukan modal bagi usaha rakyat sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan, serta menciptakan surplus yang dapat digunakan untuk membayar kembali kreditnya dan melakukan pemupukan modal. Permasalahannya adalah adanya prasyarat perbankan yang membuat masyarakat lapisan bawah umumnya dinilai tidak bankable. Keadaan ini menyebabkan terbatasnya interaksi antara lembaga keuangan yang melayani pemberian kredit dengan masyarakat kecil yang memerlukan kredit.
Akhirnya, modal makin banyak terkonsentrasi pada sektor modern, khususnya pada usaha besar, yang berakibat makin lebarnya jurang kesenjangan. Karena itu, langkah yang amat mendasar yang harus ditempuh adalah membuka akses ekonomi rakyat ke dalam modal. Untuk itu memangdiperlukan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan konvensional. Akses ke dalam modal harus diartikan sebagai keterjangkauan, yang memiliki dua sisi: pertama, ada pada saat diperlukan, dan kedua, dalam jangkauan kemampuan untuk memanfaatkannya.
Dengan demikian, persyaratan teknis perbankan seperti yang biasa digunakan di sektor modern, tidak dapat diterapkan di sini, paling tidak pada tahap awal. Misalnya, penilaian pemberian kredit tidak harus berdasarkan agunan, tetapi berdasarkan prospek kegiatan usaha. Demikian pula penentuan tingkat suku bunga harus memperhatikan kondisi ekonomi rakyat yang senyatanya, dan menguntungkan usaha ekonomi rakyat.
Secara mendasar dan sesuai dengan tujuan membangun kemandirian masyarakat perdesaan, yang merupakan bagian terbesar ekonomi rakyat, membangun lembaga pendanaan perdesaan, yang dimiliki, dikelola, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri, amatlah strategis sifatnya. Inilah sebenarnya tujuan utama bantuan modal kerja dalam rangka program IDT, yaitu menanamkan prinsip monetisasi di perdesaan. Monetisasi merupakan dasar pemupukan modal, dan pemupukan modal adalah landasan dalam perubahan struktural yang tumbuh dan berkembang. Modal usaha tersebut adalah hibah kepada masyarakat, yang dipinjamkan kepada anggota masyarakat, dengan biaya atau bunga, sebesar yang ditentukan masyarakat sendiri dengan cara yang sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Kelompok masyarakat yang mengelola modal usaha ini diharapkan dapat berkembang menjadi lembaga dana di perdesaan. Tidak kurang penting pula adalah akses ke dalam teknologi. Kita tidak berbicara tentang teknologi tinggi yang rumit, tetapi teknologi sederhana yang aplikasinya dapat meningkatkan produktivitas atau keterjaminan produksi dan segera memberi hasil berupa peningkatan pendapatan. Misalnya, pengetahuan mengenai penetasan telor itik, pemeliharaan ikan di kolam kecil, menanam sayur di lahan kering, atau pengaturan dan pengelolaan sumber air.
Kedua, memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat. Sebagai produsen dan penjual, posisi dan kekuatan rakyat dalam perekonomian sangatlah lemah. Mereka adalah price taker karena jumlahnya yang sangat banyak dengan pangsa pasar masing-masing yang sangat kecil. Lebih jauh lagi, dalam operasinya mereka biasanya menghadapi kekuatan usaha besar yang melalui persaingan tak seimbang akan mengambil keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, tidak ada insentif untuk meningkatkan mutu, karena keuntungan dari peningkatan mutu justru akan ditarik oleh usaha besar. Karenanya, kualitas dan tingkat keterampilan rendah menjadi karakteristik pula dari ekonomi rakyat. Selain itu, khusus untuk yang bergerak di sektor pertanian bahan makanan umumnya penawaran rakyat hampir inelastis sempurna. Mereka tidak dapat menambah atau mengurangi persediaan secara cepat dengan naik atau turunnya harga. Terlebih lagi sifat produknya umumnya tidak tahan lama. Untuk memperbaiki keadaan ini, kualitas produk harus ditingkatkan. Untuk itu pertama-tama rakyat harus dibantu dengan prasarana dan sarana perhubungan yang akan memperlancar pemasaran produknya.
Selain itu, rakyat harus pula diorganisasikan untuk bersama-sama memasarkan hasil produksinya sehingga sedikit banyak memperkuat posisinya. Wadah koperasi amat cocok untuk kegiatan ini, meskipun tidak harus satu-satunya. Unsur penting lainnya adalah informasi pasar, mengenai kecenderungan permintaan di pasar domestik maupun pasar internasional, harga, kualitas, standar, dan sebagainya sehingga produksi rakyat sejalan dengan permintaan pasar. Ini tentunya pemerintah, tetapi juga tugas dunia usaha untuk turut membantu.
Tugas pemerintah yang amat penting adalah pengelolaan ekonomi makro yang menunjang bagi ekonormi rakyat. Stabiltas ekonomi amat penting bagi ekonomi rayat. Karena yang pertama-tama dirugikan jika terjadi gejolak adalah rakyat. Kebijaksanaan harga, baik yang secara langsung dikuasai perrintah atau secara tidak langsung, juga harus diarahkan untuk meningkatkan ekoncmi rakyat. Upaya untuk memelihara nilai tukar sektor pertanian, misalnya, amatlah penting. Selanjutnya kelancaran distribusi arus barang dan jasa pada umumnya amat penting pula bagi ekonomi rakyat di lapisan paling bawah, yang umumnya tidak banyak mempunyai pilihan. Ini dapat didukung dengan pengembangan infrastruktur perdesaan.
Untuk meningkatkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, bantuan pembangunan dari pemerintah berupa dana, prasarana dan sarana tersebut diberikan langsung kepada penduduk miskin di desa tertinggal. Penduduk miskin dibina dan diarahkan untuk membentuk kelompok masyarakat sasaran (pokmas) dengan bimbingan yang dilakukan oleh pendamping. Pendamping diutamakan berasal dari aparat desa setempat, tokoh masyarakat ataupun anggota masyarakat setempat yang telah lebih mampu dan lebih maju.
Aparat pemerintah daerah merupakan pihak yang paling mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dengan demikian, pembinaan dan koordinasi penanggulangan kemiskinan sejauh mungkin dideiegasikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Pendelegasian kevvenangan ini bukan hanya proses administrasi, tetapi juga menunjukkan suatu proses pernbangunan yang dilaksanakan di daerah, oleh daerah sendiri, dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat di daerah. Pelaksanaan pembangunan ini berkaitan dengan peningkatan kemampuan seluruh aparatur pemerintah di daerah dan penyiapan masyarakat. Secara ringkas, pemberian wewenang kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dikaitkan dengan unsur penting, yaitu (1) kemantapan kelembagaan, (2) ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, khususnya aparatur pemerintah daerah, serta (3) potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri. Desa melalui wadah kelompok-masyarakat.-desa
yang terhimpun-dalam musyawarah Lembaga KetahananMasyarakat Desa (LKMD), sampai pada mekanisme perencanaan di tingkat kecamatan melalui diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan mendayagunakan mekanisme perencanaan dari bawah. Di tingkat desa melalui wadah kelompok masyarakat desa yang terhimpun dalam musyawarah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), sampai pada mekanisme perencanaan di tingkat kecamatan melalui diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat di daerah. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu kalau yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Dalam program IDT, dilakukan pula pendekatan kaji tindak. Untuk itu dipilih 40 desa di 26 propinsi (kecuali DKI) yang mencerminkan tipologi desa-desa di seluruh Indonesia. Melalui Kaji Tindak yang meliputi upaya pembinaan khusus dan penelitian data dasar sosial ekonomi masyarakat desa tertinggal, diperoleh informasi bahwa proses transformasi struktural mulai terjadi di desa-esa
binaan tersebut (Sajogyo, 1995). Dengan tingkat perkembangan yang berbeda, disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berbeda, potensi wilayah yang berbeda, serta kemampuan sumber daya manusia yang bervariasi, telah dirasakan bahwa program IDT memberikan dampak positif dalam menggerakkan ekonomi rakyat.
Dalam rangka itu, melalui kegiatan sarjana pendamping purna waktu (SP2W) yang menerapkan metoda pembinaan berdasar Rapid Rural Appraisal (RRA) penduduk miskin dibina dalam wadah kelompok masyarakat sasaran dengan: (1) merumuskan masalah, (2) merencanakan kegiatan sosial ekonomi, (3) memilih kegiatan sosial ekonomi yang menguntungkan, serta (4) diawali dengan pencatatan kegiatan secara sederhana.
Kaji tindak yang dilaksanakan berdasarkan kerjasama antara universitas setempat dengan pemerintah ini adalah salah satu wujud nyata pemberdayaan kepada masyarakat untuk memajukan dan memandirikan penduduk miskin di desa tertinggal sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan pendekatan langsung dan proaktif. Masalah-masalah yang dihadapi sebagai hasil suatu kajian langsung di pecahkan di lapangan.

IX.P E N U T U P
Sebagai penutup, secara umum dalam rangka pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, penyempurnaan mekanisme pembangunan perlu dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Pertama, penajaman sasaran pembangunan dengan pengertian bahwa investasi pemerintah melalui bantuan dana, prasarana dan sarana benar-benar mencapai kelompok sasaran yang paling memerlukan sehingga meningkatkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara berkesinambungan.
Kedua, kelancaran dan kecepatan dalam penyaluran dana serta pembangunan prasarana dan sarana sehingga dapat segera digunakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan jangka waktu yang disediakan.
Ketiga, membangun kesiapan masyarakat dalam menerima dan mendayagunakan dana, prasarana, dan sarana.
Keempat, masyarakat harus diberi kepercayaan untuk memilih kegiatan
usahanya dan diberi bimbingan berupa pendampingan supaya berhasil. Misalnya, dalam rangka pembangunan prasarana di perdesaan, harus juga sejauh mungkin dilaksanakan oleh masyarakat, sekurang-kurangnya masyarakat ikut serta di dalamnya.
Kelima, kemampuan masyarakat bersama aparat untuk meningkatkan nilai tambah dari investasi tersebut dan menciptakan akumulasi modal.
Keenam, kelengkapan pencatatan sebagai dasar pengendalian dan penyusunan informasi dasar yang lengkap, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi dan penyempurnaan program yang akan datang. Karena pembangunan di tingkat perdesaan dan pemberdayaan masyarakat menyangkut kegiatan banyak sektor, maka koordinasi amat penting untuk menyatukan berbagai upaya agar menghasilkan sinergi, serta untuk menghindari tumpang tindih sehingga dapat dijamin efisiensi dalam upaya mencapai hasil yang optimal.
Demikianlah pokok-pokok pikiran mengenai pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah konsep pembangunan yang berakar pada rakyat dan bertujuan memampukan dan memandirikan masyarakat. Sebagai pendekatan yang relatif baru, pandangan-pandangan di atas masih banyak kekurangannya dan jelas perlu terus disempurnakan dan diperkuat baik dengan kajian-kajian empiris maupun teoretis. Namun, sebagai bahan awal kiranya bermanfaat dan dapat menggugah serta merangsang para pelajar dan pemikir berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkannya lebih lanjut, dan bagi para praktisi sebagai bahan referensi.


Daftar Pustaka
Agpalo, Remigio, E., Modernization, Development, and Civilization: Reflections on the Prospects of Political Systems in the First, Second and third Worlds dalam Kenneth E. Bauzon (ed),
Development and Democratisation in the Third World: Myths, Hopes and Realities; Washington: Crane Russak, 1992.
Anonim, Panduan Program Inpres Desa Tertinggal; Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional - Departemen Dalam Negeri, 1994.
---------, Pembinaan Program dan Pendampingan Pokmas IDT; Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional - Departemen Dalam Negeri, 1995.
---------, Kaji Tindak Program Inpres Desa Tertinggal Tahun Pertama; Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 1995.
Arndt, Heinz W., Economic Development: The History of An Idea; Chicago: The University of Chicago Press, 1987.
Azis, Iwan Jaya. Kesenjangan Antara Ekonomi Makro dan Gejala Mikro: Keterbatasan Ilmu Ekonomi? Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Ekonomi padaFakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 29 Februari 1996.
Baran, P.A., The Political Economy of Growth; New York: Monthly Review Press, 1957.